Resume Diskusi OGB community
Persoalan utama pendidikan di Indonesia saat terletak pada terbatasnya ketersediaan lembaga pendidikan yang berkualitas dan kesempatan yang sama bagi seluruh anak bangsa untuk mendapatkan pendidikan yang layak dan berkualitas. Realitas di lapangan, kondisi sebagian besar lembaga-lembaga pendidikan sangat sulit untuk dapat menyediakan pendidikan yang baik, layak, dan bermutu. Hal itu disebabkan minimnya dukungan system kelembagaan yang baik, fasilitas pendidikan yang memadai, dan SDM yang qualified yang merupakan pilar penyanggah utamanya.
Sementara di sisi lain, seringkali pendidikan yang baik selalu identik dengan biaya mahal. Logikanya, hanya lembaga pendidikan yang ditopang modal besar yang dapat menyediakan, dan hanya anak-anak yang berlatar belakang keluarga yang memiliki kemampuan ekonomi yang dapat mencicipi sekolah yang baik. Sementara sebagaian besar lembaga pendidikan, terutama yang basisnya di desa-desa selalu identik sebagai lembaga pendidikan kelas dua, baik dilihat dari dukungan dana, SDM yang dimiliki, maupun fasilitas penunjang yang tersedia.
Sebuah problem yang kompleks, baik dilihat dari fungsi kelembagaan sebagai pembentuk generasi masa depan, maupun dilihat dari prospek kelembagaannya. Sebagai pembentuk generasi, sebagian besar lembaga pendidikan mengalami kesulitan dalam mencetak output yang diharapkan. Sedangkan prospek ke depan -- jika tidak segera berbenah – juga mengalami kesulitan untuk mempertahankan keberlangsungan hidupnya.
Kekhawatiran ini dilatarbelakangi dua arus besar yang berkembang dan tampaknya ke depan menjadi sebuah keniscayaan yang sulit dihindarkan. Pertama, globalisasi dan pasar bebas. Meskipun gelombang penciptaan dunia global tidak secara langsung bersentuhan dengan dunia pendidikan, tetapi gerbong globalisasi juga membawa pendidikan global. Pendidikan global ini dapat berbentuk, pertama, persaingan global lembaga-lembaga pendidikan dunia dalam bingkai pasar bebas, dimana lembaga-lembaga pendidikan luar negeri yang notabene lebih unggul secara finansial dan SDM mendirikan cabang pendidikan di Indonesia. Dan kedua, dengan kemajuan teknologi informatika, dimana lembaga-lembaga pendidikan yang established (mapan) dalam manajemen, SDM, dan finansial akan memanfaatkannya sebagai sarana pendidikan untuk meningkatkan daya saing.
Kedua, kebijakan pemerintah (meskipun sering tidak konsisten dan terkesan tanpa orientasi yang jelas) dalam meningkatkan mutu pendidikan Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari produk perundang-undangan (UUD '45 hasil amandemen, UU Sisdiknas, UU Guru dan Dosen, dll) yang dikeluarkan oleh pemerintah yang bertujuan mendorong lembaga-lembaga pendidikan untuk menata diri menjadi lembaga pendidikan yang “dapat dipertanggungjawabkan”. Aspek pembenahan yang menjadi prioritas utama adalah pembenahan dan peningkatan SDM guru/pengajar.
Meskipun kebijakan pemerintah di atas menjadi angin segar bagi perbaikan pendidikan di Indonesia, tetapi juga menjadi tantangan besar bagi keberlangsungan sebagian besar lembaga pendidikan yang ada. Sebab hanya lembaga-lembaga pendidikan yang memiliki dukungan dana (SDM dan fasilitias) yang memadai yang dapat segera melakukan penyesuaian dengan arah baru kebijakan pendidikan yang dikembangkan pemerintah, sementara lembaga-lembaga pendidikan yang kurang memiliki SDM dan fasilitas memadai masih butuh waktu untuk melakukan penyesuaian diri. Dan keterlambatan dalam melakukan penyesuaian diri akan berdampak pada semakin sulitnya lembaga-lembaga pendidikan tersebut dalam mempertahankan keberlangsungan hidupnya.
Dengan tantangan seperti di atas, sebagian besar lembaga pendidikan saat ini dihadapkan pada dilematika pendanaan yang cukup pelik. Pertama, ia dituntut untuk melakukan pengembangan diri untuk menjaga daya saing dengan lembaga-lembaga pendidikan yang lain; kedua, lembaga-lembaga pendidikan tersebut dihadapkan pada kesulitan dana untuk mengembangkan dirinya; ketiga. realitas sebagian besar siswa yang berlatar belakang ekonomi menengah ke bawah; dan keempat, sikap hedonis yang juga sudah menjalar pada komponen-komponen yang terlibat dalam pengelolaan pendidikan.
Poersolan yang muncul kemudian, mampukah lembaga-lembagan pendidikan yang berbasis di desa untuk sekedar bertahan di tengah persaingan dan tantangan yang begitu ketat? Sedangkan kemajuan dan revolusi teknologi saat ini tidak lagi berada dalam hitungan tahun. Kita tidak dapat lagi memprediksi sampai kapan teknologi yang kita pakai saat ini menjadi sesuatu yang out of date (kadaluwarsa/tidak layak pakai). Dan seandainya lembaga-lembaga pendidikan ini tidak mampu lagi bertahan, maka dapat dibayangkan berapa banyak anak-anak usia sekolah yan harus putus sekolah akibat tidak mampu membayar biaya pendidikan di lembaga-lembaga pendidikan favorit yang notabene mahal.
Kedua, secara internal, sebagian besar lembaga-lembaga pendidikan yang berbasis di desa saat ini tidak lebih dari sekedar bertahan pada rutinitas formal dan prosedural. Contoh konkret, sebagian besar lembaga pendidikan belum memiliki mekanisme jaminan mutu lulusannya. Sampai saat ini, lembaga pendidikan masih jarang yang memiliki deskripsi detil tentang kualifikasi yang nantinya dimiliki oleh anak didik setelah mereka lulus, dan bagaimana proses yang harus dilalui untuk mencapai kualifikasi tersebut.
Dari kompleksitas persoalan yang melekat pada sebagian besar lembaga-lembaga pendidikan yang ada saat ini dan dalam rangka menyiapkan diri mengikuti persaingan pendidikan ke depan, tampaknya upgrading SDM perlu mendapat prioritas utama. Hal ini didasarkan pada sebuah argumen bahwa sesempurna apapun sebuah sistem tidak akan efektif tanpa didukung oleh SDM yang memadai.
Pembenahan SDM dapat dilakukan dengan cara 1) revitalisasi misi keguruan sebagai pengemban amanat pencerdas anak bangsa yang saat ini mengalami kehampaan makna, 2) visi keguruan sebagai manusia yang harus melakukan pembelajaran berkelanjutan dalam rangka peningkatan kualitas diri yang saat ini tidak lebih sekedar semboyan.
Namun penataan SDM tidak bisa berdiri sendiri. Ia masih membutuhkan sebuah sistem kelembagaan yang baik yang dapat mendukung dan mendorong suasana pembelajaran kondusif dan kreatif. Kelemahan paling menyolok dari sistem kelembagaan lembaga-lembaga pendidikan saat ini terletak pada kurangnya transparansi (yang mengandaikan adanya pertanggungjawab publik) dan ide kreatif inovatif dari pengelola.
Persoalan utama pendidikan di Indonesia saat terletak pada terbatasnya ketersediaan lembaga pendidikan yang berkualitas dan kesempatan yang sama bagi seluruh anak bangsa untuk mendapatkan pendidikan yang layak dan berkualitas. Realitas di lapangan, kondisi sebagian besar lembaga-lembaga pendidikan sangat sulit untuk dapat menyediakan pendidikan yang baik, layak, dan bermutu. Hal itu disebabkan minimnya dukungan system kelembagaan yang baik, fasilitas pendidikan yang memadai, dan SDM yang qualified yang merupakan pilar penyanggah utamanya.
Sementara di sisi lain, seringkali pendidikan yang baik selalu identik dengan biaya mahal. Logikanya, hanya lembaga pendidikan yang ditopang modal besar yang dapat menyediakan, dan hanya anak-anak yang berlatar belakang keluarga yang memiliki kemampuan ekonomi yang dapat mencicipi sekolah yang baik. Sementara sebagaian besar lembaga pendidikan, terutama yang basisnya di desa-desa selalu identik sebagai lembaga pendidikan kelas dua, baik dilihat dari dukungan dana, SDM yang dimiliki, maupun fasilitas penunjang yang tersedia.
Sebuah problem yang kompleks, baik dilihat dari fungsi kelembagaan sebagai pembentuk generasi masa depan, maupun dilihat dari prospek kelembagaannya. Sebagai pembentuk generasi, sebagian besar lembaga pendidikan mengalami kesulitan dalam mencetak output yang diharapkan. Sedangkan prospek ke depan -- jika tidak segera berbenah – juga mengalami kesulitan untuk mempertahankan keberlangsungan hidupnya.
Kekhawatiran ini dilatarbelakangi dua arus besar yang berkembang dan tampaknya ke depan menjadi sebuah keniscayaan yang sulit dihindarkan. Pertama, globalisasi dan pasar bebas. Meskipun gelombang penciptaan dunia global tidak secara langsung bersentuhan dengan dunia pendidikan, tetapi gerbong globalisasi juga membawa pendidikan global. Pendidikan global ini dapat berbentuk, pertama, persaingan global lembaga-lembaga pendidikan dunia dalam bingkai pasar bebas, dimana lembaga-lembaga pendidikan luar negeri yang notabene lebih unggul secara finansial dan SDM mendirikan cabang pendidikan di Indonesia. Dan kedua, dengan kemajuan teknologi informatika, dimana lembaga-lembaga pendidikan yang established (mapan) dalam manajemen, SDM, dan finansial akan memanfaatkannya sebagai sarana pendidikan untuk meningkatkan daya saing.
Kedua, kebijakan pemerintah (meskipun sering tidak konsisten dan terkesan tanpa orientasi yang jelas) dalam meningkatkan mutu pendidikan Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari produk perundang-undangan (UUD '45 hasil amandemen, UU Sisdiknas, UU Guru dan Dosen, dll) yang dikeluarkan oleh pemerintah yang bertujuan mendorong lembaga-lembaga pendidikan untuk menata diri menjadi lembaga pendidikan yang “dapat dipertanggungjawabkan”. Aspek pembenahan yang menjadi prioritas utama adalah pembenahan dan peningkatan SDM guru/pengajar.
Meskipun kebijakan pemerintah di atas menjadi angin segar bagi perbaikan pendidikan di Indonesia, tetapi juga menjadi tantangan besar bagi keberlangsungan sebagian besar lembaga pendidikan yang ada. Sebab hanya lembaga-lembaga pendidikan yang memiliki dukungan dana (SDM dan fasilitias) yang memadai yang dapat segera melakukan penyesuaian dengan arah baru kebijakan pendidikan yang dikembangkan pemerintah, sementara lembaga-lembaga pendidikan yang kurang memiliki SDM dan fasilitas memadai masih butuh waktu untuk melakukan penyesuaian diri. Dan keterlambatan dalam melakukan penyesuaian diri akan berdampak pada semakin sulitnya lembaga-lembaga pendidikan tersebut dalam mempertahankan keberlangsungan hidupnya.
Dengan tantangan seperti di atas, sebagian besar lembaga pendidikan saat ini dihadapkan pada dilematika pendanaan yang cukup pelik. Pertama, ia dituntut untuk melakukan pengembangan diri untuk menjaga daya saing dengan lembaga-lembaga pendidikan yang lain; kedua, lembaga-lembaga pendidikan tersebut dihadapkan pada kesulitan dana untuk mengembangkan dirinya; ketiga. realitas sebagian besar siswa yang berlatar belakang ekonomi menengah ke bawah; dan keempat, sikap hedonis yang juga sudah menjalar pada komponen-komponen yang terlibat dalam pengelolaan pendidikan.
Poersolan yang muncul kemudian, mampukah lembaga-lembagan pendidikan yang berbasis di desa untuk sekedar bertahan di tengah persaingan dan tantangan yang begitu ketat? Sedangkan kemajuan dan revolusi teknologi saat ini tidak lagi berada dalam hitungan tahun. Kita tidak dapat lagi memprediksi sampai kapan teknologi yang kita pakai saat ini menjadi sesuatu yang out of date (kadaluwarsa/tidak layak pakai). Dan seandainya lembaga-lembaga pendidikan ini tidak mampu lagi bertahan, maka dapat dibayangkan berapa banyak anak-anak usia sekolah yan harus putus sekolah akibat tidak mampu membayar biaya pendidikan di lembaga-lembaga pendidikan favorit yang notabene mahal.
Kedua, secara internal, sebagian besar lembaga-lembaga pendidikan yang berbasis di desa saat ini tidak lebih dari sekedar bertahan pada rutinitas formal dan prosedural. Contoh konkret, sebagian besar lembaga pendidikan belum memiliki mekanisme jaminan mutu lulusannya. Sampai saat ini, lembaga pendidikan masih jarang yang memiliki deskripsi detil tentang kualifikasi yang nantinya dimiliki oleh anak didik setelah mereka lulus, dan bagaimana proses yang harus dilalui untuk mencapai kualifikasi tersebut.
Dari kompleksitas persoalan yang melekat pada sebagian besar lembaga-lembaga pendidikan yang ada saat ini dan dalam rangka menyiapkan diri mengikuti persaingan pendidikan ke depan, tampaknya upgrading SDM perlu mendapat prioritas utama. Hal ini didasarkan pada sebuah argumen bahwa sesempurna apapun sebuah sistem tidak akan efektif tanpa didukung oleh SDM yang memadai.
Pembenahan SDM dapat dilakukan dengan cara 1) revitalisasi misi keguruan sebagai pengemban amanat pencerdas anak bangsa yang saat ini mengalami kehampaan makna, 2) visi keguruan sebagai manusia yang harus melakukan pembelajaran berkelanjutan dalam rangka peningkatan kualitas diri yang saat ini tidak lebih sekedar semboyan.
Namun penataan SDM tidak bisa berdiri sendiri. Ia masih membutuhkan sebuah sistem kelembagaan yang baik yang dapat mendukung dan mendorong suasana pembelajaran kondusif dan kreatif. Kelemahan paling menyolok dari sistem kelembagaan lembaga-lembaga pendidikan saat ini terletak pada kurangnya transparansi (yang mengandaikan adanya pertanggungjawab publik) dan ide kreatif inovatif dari pengelola.