Oleh: H. Elwafa Mahfud, Lc. MPd. )*
Kalau disimak kembali lembaran peta dunia maka akan kita dapatkan betapa jauh jarak antara Kota Mekkah atau Madinah dengan Indonesia. Namun jauhnya jarak tidak menyurutkan semangat para muballigh (penyebar agama), ulama dan Wali Allah untuk menyiarkan agama Islam ke bumi pertiwi ini. Tidak cuma itu, bahkan karena kegigihan dan jasa mereka ahirnya hingga detik ini kita bisa merasakan manisnya menjadi seorang muslim. Indonesia negeri yang semula sebagai markasnya Animisme, Dinamisme, Hindu dan Budha ahirnya menjadi negeri yang berpenduduk muslim terbanyak di dunia.
Bukan sulap bukan sihir, ini tidak mudah, merupakan proses panjang yang butuh keahlian dan kesabaran, tidak hanya cukup dengan meneriakkan takbir “Allahu akbar”. Untuk itu, karunia yang satu ini wajib disyukuri dengan syukur yang sebenarnya yaitu menghargai jasa mereka, mendoakan dan meneruskan perjuangannya karena pada hakekatnya perjuangan mereka belum selesai, dan itu adalah tugas kewajiban kita selaku generasi penerus. Bukan sebaliknya (na’udzu billah) malah menyalahkan mereka.
Kenapa mereka berhasil gemilang menyebarkan Islam di Indonesia ?
Karena mereka ikhlas dan tahu bahwa islam adalah agama Rahmatan Lil Alamin, artinya islam itu pembawa rahmat kasih sayang dan karunia bagi semesta alam; manusia, hewan, tumbuhan dan sekelilingnya. Mereka tidak lupa dengan apa yang diajarkan oleh Rasulullah SAW bahwa dakwah kebaikan tidak harus dengan kekerasan. Rasul telah memberikan teladan metode dakwah yang simpatik.
Sejak era revolusi sampai awal era presiden Habibi tidak pernah ada kekerasan ataupun perusakan yang dilakukan sekelompok muslim. Namun pada tahun tahun terahir ini muncul sekelompok baru dengan memakai cara cara yang bertentangan dengan Al-Quran Hadist dan amat berlainan dengan apa yang telah ditempuh oleh para wali terdahulu. Mereka salah dalam memaknai kata ‘Jihad’, mereka persempit makna jihad. Tidak hanya itu, mereka juga salah dalam memahami Hadist Nabi tentang ‘Fal yughayyirhu bi yadihi’ (hendaklah kamu merubahnya dengan tangan/ kekuatan). Sungguh pemahaman sempit (jawa: cupet) yang dapat menurunkan value of contens dari Al-Quran dan Hadist itu sendiri.
Kelompok Transnasional (jawa: islam anyaran) dengan berbagai namanya; salafi, wahabi, FPI, hizbut tahrir, ikhwan, majelis mujahidin, jamaah tabligh dan semacamnya telah merusak tatanan yang telah lama dibangun oleh para wali dengan susah payah. Mereka juga merusak citra pesantren yang dari dulu terkenal dengan santun dan sikap tolerannya jauh dari anarkis. Bahkan merusak citra islam dan muslimin di mata internasional; sebut saja kasus bom bali (tulisan ini ditulis saat detik detik pelaksanaan eksekusi mati). Beruntung masih ada orang semacam KH. Hasyim Muzadi atau lainnya yang kemudian menjelaskan kepada dunia internasional tentang islam yang sebenarnya. Apakah dengan dibom lantas kemaksiatan di Bali menjadi sirna ? Bukankah korban yang meninggal juga terdapat orang muslim ? Kerukunan antar umat beragama di Bali menjadi rusak setelah sekian lama dibangun; orang orang Bali menjadi curiga terhadap aktifitas kaum muslimin sehingga sangat menyulitkan mereka untuk berdakwah.
Sebagian dari mereka ini adalah orang orang yang baru sadar, baru kenal dan baru belajar tentang islam, itupun dari kitab terjemahan. Makanya tidak sedikit yang tidak bisa membaca Al-Quran, tapi sudah berani berfatwa; haram, bid’ah, sesat, neraka. Ini banyak dijumpai di berbagai perguruan tinggi khususnya kota metropolitan yang haus akan agama, dan akan jarang dijumpai di kota santri. Kaum ini minoritas tidak banyak namun insan pers yang membuat mereka seakan akan banyak.
Islam Agama yang Ramah.
Mari kita tengok sejarah Rasul SAW: 1) Ketika ada seseorang yang kencing di lokasi masjid, Rasul santai saja, lalu ada salah satu Sahabat yang mau menyerang orang tadi tapi justru Rasul mencegahnya. Ahirnya beliau cuma menasihati pelaku kencing tadi. 2) Ketika umat islam di Madinah ‘disakiti’ orang kafir quraisy Mekkah, diserang dan diintimidasi, saidina Hamzah berulang kali datang ke Rasul supaya diijinkan menyerang mereka tapi Allah masih tidak mengijinkan. Baru setelah kesekian kalinya lantas Allah mengijinkan kepada umat islam untuk meladeni tantangan orang kafir, lalu terjadilah perang Badar. Jadi tidak ujug ujug (langsung) menyerang tapi prosesnya panjang, itupun sifatnya membela diri. 3) Ingat juga peristiwa Fathu Makkah (takluknya Mekkah); apakah Rasul atau kaum Anshor-Muhajirin menyerang penduduk Mekkah? Apakah membunuh? Apakah merusak atau melempari rumah? Jawabnya “Tidak”.
Allah berfirman : الاية ... و أعِدّوا لهُمْ ما اسْتطعتمْ من قوّةٍ ومِن رباطِ الخيْل ترْهبُون به عَدوّ الله و عدُوّكمْ
Dan siapkan kekuatan dan pasukan kuda semampumu untuk menakut nakuti musuh Allah dan musuhmu (Al-anfal: 60).
Dari ayat diatas jelas bahwa tujuan hakiki dari dihimpunnya suatu kekuatan adalah sebagai pertahanan keamanan umat (HANKAM) sehingga musuh lari tidak berani mengganggu kita, jadi bukan untuk menyerang orang lain. Dalam Hadist riwayat Bukhari-Muslim dari Ibnu Abbas RA; Rasul mengutus Muadz bin Jabal RA beserta rombongan ke Yaman hanya untuk mengajak para Ahli kitab (yahudi-nasrani) masuk Islam, jadi tidak memerintahkan perang. Para Sahabat Nabi dan Tabiin setiap memasuki wilayah baru non muslim biasanya mereka selalu menawarkan dua pilihan: masuk islam atau bayar Jizyah (pajak), Aslim Taslam (masuklah islam maka kamu selamat).
Tidak kepada manusia saja, sejak 14 abad yang lalu Islam juga mengajak kita agar ramah kepada hewan. Hadist Bukhari Muslim dari Ibnu Umar RA, Rasul bersabda: “Ada seorang wanita masuk neraka dan disiksa gara gara ia mengurung kucing dan tidak memberinya makan dan minum”. Islam juga ramah lingkungan, buktinya Allah berfirman: “Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah Allah menjadikannya baik” (Al-a’raf: 56).
Dan masih banyak lagi dalil yang intinya menjelaskan bahwa Islam adalah Rahmatan Lil Alamin (Al-anbiya’:107) bukan Mushibatan Lil Alamin (musibah bagi alam semesta), Islam agama yang santun, ramah dan cinta damai. Bukan saja ramah kepada manusia tapi juga mahluk dan alam sekitarnya. Wallahu a’lam bis shawab.
*Alumnus PP. Ihyaul-Ulum dan dosen Universitas Muhammadiyah Surakarta.