Untuk memahami tema di atas, kita mulai sama-sama teringat kembali saat masih mengaji di sebuah pondok pesantren, surau-surau atau pengajian di masjid-masjid desa, di mana seorang Kiai membacakan sebuah kitab berjudul mawaidlul ushfuriyah, karangan ulama besar syekh Muhammad bin Abi Bakar.
Dalam satu kesempatan, sebagaimana tertulis dalam kitab tersebut, Nabi Muhammad Saw bersabda; أنا مدينة العلم وعلى بابها, ketika golongan Khawarij mendengar sabda Nabi ini mereka semua hasud kepada Sayyidina Ali. Maka berkumpullah 10 golongan dari pembesar-pembesar mereka. Mereka bersepakat untuk menanyakan kepada Sayyidina Ali satu persoalan, kalau Sayyidina Ali bisa menjawab 10 jawaban dengan alasan yang berbeda-beda barulah mereka meyakini kepandaian Sayyidina Ali. Berangkatlah satu demi satu di antara mereka dengan membawa pertanyaan yang sama seperti yang tercantum dalam dialog berikut.
Khawarij; “wahai Ali lebih utama mana antara ilmu dan harta?”. Sayyidina Ali menjawab, “tentu lebih utama ilmu”. Kemudian perwakilan dari khawarij itu melanjutkan kembali pertanyaannya. “Apa alasan anda?”, Jawab Sayyidina Ali; “karena ilmu adalah warisan para Nabi, sedangkan harta itu warisan Qorun, Sadat dan Fir’aun”. Setelah itu, datang orang kedua menanyakan hal yang sama.
Orang kedua; “wahai Ali lebih utama mana antara ilmu dan harta?”, Sayyidina Ali menjawab; “ilmu lebih utama dari pada harta”. Orang kedua ini pun menanyakan alasan atas jawaban tersebut seperti yang dilakukan orang pertama. Sayyidina Ali menjawab bahwa, “ilmu itu bisa menjaga kita, sedangkan harta malah kita yang menjaganya”. Begitulah seterusnya, golongan ke-tiga s/d golongan kesepuluh mengajukan pertanyaan yang sama dan dijawab oleh Sayyidina Ali dengan jawaban yang berbeda-beda sebagaimana berikut;
pasar uang diseimbangkan oleh bunga sedang pasar internasional diseimbangkan oleh kurs mata uang. Logikanya, ketika ada produsen meningkatkan harga barang terlalu tinggi, maka permintaan barang akan mengalami penurunan, sebaliknya jika konsumen meminta harga yang terlalu rendah tidak ada perusahaan yang akan menjual barangnya. Bertemulah titik keseimbangan itu. Keseimbangan antara permintaan konsumen akan diseimbangkan dengan besarnya harga barang dari produsen, keseimbangan antara kerja yang dilakukan pekerja dengan diseimbangkan dengan besarnya upah yang diterimanya, Mereka percaya sepenuhnya pada mekanisme pasar, pasar yang berdaulat.
Meskipun muncul gagasan untuk memunculkan peran serta pemerintah sebagai penentu kebijakan negara sebagaimana teori yang dikembangkan oleh John Stuart Mill (1806 – 73) dan John Maynard Keynes (1883 – 1946). Bagi mereka meskipun peran negara sangat lemah dalam mengatur kebebasan individu dan meskipun negara harus “berlepas tangan” dalam sebagian besar bidang kehidupan, namun negara perlu campur tangan dalam bidang pendidikan anak atau memberikan bantuan untuk orang miskin, serta dalam permasalahan pengangguran.
Ada 12 syarat yang diberlakukan jika suatu negara ingin mendapatkan bantuan atau pinjaman dari lembaga-lembaga dunia termasuk Bank Dunia (World Bank), Bank Pembanguanan Asia (ADB) serta lembaga bantuan asing lainnya. Diantara dua belas syarat tersebut adalah:
1. Price Decontrol : Penghapusan kontrol atas harga komoditi, faktor produksi, dan mata uang. Yang berarti tinggi rendahnya harga ditentukan oleh pasar
2. Exchange Rates : Untuk meningkatkan ekspor dengan cepat, negara-negara berkembang memerlukan tingkat nilai tukar matauang yang tunggal dan kompetitif.
3. Trade Liberalization : Pembatasan perdagangan luar negeri melalui kuota (pembatasan secara kuantitatif) harus diganti tarif (bea cukai), dan secara progresif mengurangi tarif sehingga mencapai tingkat yang rendah dan seragam (kira-kira 10% sampai 20%). Hal ini berarti semakin besarnya barang-barang luar negeri yang menjadi pesaing di negara kita karena rendahnya biaya cukai yang diberlakukan yang bisa menyebabkan semakin terpurunya produk-produk dalam negeri, termasuk produk UKM dan home industri masyarakat bawah karena tidak memenuhi standar yang ditetapkan oleh Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) yang notabene bagian dari organisasi kaum liberal.
4. Foreign Direct Investment : Penghapusan hambatan terhadap masuknya perusahaan asing. Perusahaan asing harus boleh bersaing dengan perusahaan nasional secara setara; tidak boleh ada pilih-kasih. Hal ini akan menjadikan semakin terpuruknya perusahaan-perusahaan dalam negeri, termasuk usaha kecil menengah (UKM).
5. Privatization : Perusahaan negara harus diswastakan. Hal ini berarti akan semakin sedikitnya aset dan sumber daya alam yang dimiliki dan dikelola oleh negara/rakyat bangsa ini karena saham-saham perusahaan negara dikuasai oleh asing.
6. Deregulation : Penghapusan peraturan yang menghalangi masuknya perusahaan baru ke dalam suatu bidang bisnis dan yang membatasi persaingan; kecuali kalau pertimbangan keselamatan atau perlindungan lingkungan hidup mengharuskan pembatasan itu.
7. Property Rights : Sistem hukum yang berlaku harus bisa menjamin perlindungan hak milik atas tanah, kapital, dan bangunan. Hal ini berarti perusahaan-perusahaan asing yang mengelola SDA bangsa ini semakin tidak tersentuh dan saham perusahaan tersebut tidak bisa di nasionalisasikan menjadi milik bangsa ini sendiri.
Dengan adanya ekonomi pasar tersebut pemerintah tidak lagi kuasa mengatur ekonominya, menentukan keadilan sosial bagi rakyatnya. Semua dikendalikan oleh pasar, maka orang pemilik modal jelas akan merajai pertarungan. Ketika pertanian diserahkan pada mekanisme pasar, maka petani harus mampu bersaing sendiri dengan petani-petani modern Amerika dan Eropa serta beberapa Negara Asia lain seperti Thailand. Tidak ada yang namanya pembatasan impor, semua barang bebas masuk. Tidak ada namanya subsidi pupuk, atau BBM. Kalau mau hidup silahkan urus sendiri, perbaiki sistem manajemen dan kualitas mutu untuk mampu bersaing.
Jika hal serupa terjadi pada dunia pendidikan (gejalanya dengan BHP/Badan Hukum Pendidikan pada perguruan tinggi sekarang yang berarti terjadi otonomi perguruan tinggi), kesehatan (rumah sakit dianggap sebagai penghasil Pendapatan Asli Daerah/PAD) diserahkan pada mekanisme pasar. Maka biaya sekolah dan kesehatan akan melambung tinggi karena perguruan tinggi harus mencukupi kekurangan biaya yang sebelumnya disubsidi pemerintah dan pamerintah daerah berlomba-lomba untuk memperoleh pendapatan sebesar-besarnya, bagaiman dengan masyarakat miskin? Sebaiknya tidak perlu sekolah dan dilarang sakit. Melihat logika di atas, adalah sangat wajar berbagai kalangan melihat kehadiran neo-liberalisme sebagai ancaman yang sangat serius bagi bangsa ini, hal ini karena besarnya kesenjangan masih belum bisa diselesaikan oleh pemerintah, masih besarnya ketidakmerataan pendidikan di negeri semakin memperburuk kondisi masyarakat bangsa ini. Hal ini diperparah lagi dengan perjanjian-perjanjian yang harus dipenuhi oleh pemerintah terkait seringnya hutang keluar negeri.
Oleh karena itu sudah seharusnya bagi kita untuk selalu cermat dalam segala hal terutama terutama yang berkaitan pengambilan keputusan, baik itu keputusan pribadi apalagi keputusan yang berkaitan dengan negara dan rakyat yang dilakukan pemerintah atau pihak yang memegang kebijakan. Apalagi tanggal 8 juli nanti kita melaksanakan pemilu presiden, kita harus cermat dan teliti serta kritis dalam menentukan pilihan kita agar bangsa ini tidak semakin terpuruk dan pada akhirnya tidak memiliki aset/kekayaan apapun bagi generasi mendatang. Wallahua’lam bish showaab
*) Ditulis untuk diterbitkan Buletin Riyaadlotul Muhtaajiin OGB Community Gresik . Penulis adalah Alumni Pon Pes Ihyaul Ulum Dukun Gresik