10/29/2010

Teori Belajar

Check out this SlideShare Presentation:

10/28/2010

HIKMAH HAJI



By: KH. Abdulah Afif Ma’sum *)

بســــــــم اللــه الرحمـن الرحـيم

Pada suatu ketika seorang yang baru datang dari menunaikan Ibadah haji berkata :“Haji itu ternyata sama dengan tamasya, sama dengan kamping, apasih keistimewaannya ? “
Mendengar ucapan itu sepontan teman yang ada disebelahnya berucap “Astagfirullah begitu kamu menilai ibadah Haji, sedangkan Haji adalah ibadah yang mulia yang mempunyai hikmah dan manfaat yang sangat tinggi, manakala Haji dipandang dari sudut lahiriyah saja maka tak ada bedanya dengan prilaku yang lain, sama halnya dengan shalat apabila dipandang dari sudut yang sama maka tak ada bedanya dengan senam. Ketahuilah bahwa dibalik yang nampak dari semua bentuk ibadah terkandung nilai dan hikmah yang agung dan itulah inti dari ibadah, termasuk Ibadah Haji” .

Memang benar apa yang diucapkan oleh teman itu, bahwa setiap amalan yang disyariatkan oleh Allah dalam Islam pasti mengandung hikmah yang agung yang amat menarik untuk diketahui, seperti sholat dimana setiap gerakan dan bacaannya mengandung banyak hikmah yang masih banyak belum diketahui oleh sebagian besar kaum muslimin. Kita perlu memgetahui berbagai rahasia dan hikmah dari Ibadah Shalat baik yang terkait dengan syarat-syaratnya, rukun-rukunnya maupun sunnah-sunnahnya, sehingga kita akan semakin mantap, khusyuk dan tidak malas untuk melakukannya. demikian halnya dengan ibadah puasa, zakat haji dan lain sebagainya .
Seiring semakain kuatnya keimanan didada, ditambah pengetahuan tentang rahasia dan hikmah yang terdapat dalan syariat ( Hikmatut-Tasyrik) maka Kaum Muslimin akan semakin patuh melakukan semua perintah Allah dan Rasul-Nya serta akan menjahui semua larangannya dengan penuh kesadaran dan kesungguhan hati.

Jika hal itu dapat tumbuh subur dalam jiwa setiap Muslim maka apa yang difirmankan oleh oleh Allah dalam Surat Al-A’raf ayat 96 akan menjadi kenyataan .

ولو ان اهل القرى امنوا واتقوا لفتحنا عليهم بركات من السموات والارض ولكن كذبوا فاخذناهم بما كانوا يكسبون ( الاعراف : 96)

Artinya : Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri itu beriman dan bertaqwa
pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka barokah dari langit dan
bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) maka Kami akan siksa
mereka disebabkan oleh perbuatan mereka . ( Q.S.A;l-A’raf: 96 )

Berkenaan dengan hal itu, kiranya perlu diketahui berbagai rahasia dan hikmah tentang hal-hal yang ada kaitannya dengan Ibadah Haji dengan harapan agar Ibadah Haji yang dilakukan dengan banyak menguras harta, tenaga, dan fikiran dapat dijalankan dengan penuh kesadaran berdasarkan keimanan dan pengetahuan yang memadai sehingga akan memberikan hasil yang sangat positif dan berarti bagi
perubahan diri, keluarga dan masyarakat lingkungannya menuju yang lebih baik secara luas dibawah naungan rahmat dan ridho Allah SWT.

Satu hal yang sangat mendasar yang perlu diketahui bahwa Allah SWT mengawali firman-Nya dalam Al-Qur’an yang berkaitan dengan kewajiban Haji dengan ungkapan “ ولله“ dan " علي النا س “

ولله على النا س حج البيت من استطاع اليه سبيلا ( ال عمران 97 )

Artinya : Dan karena Allah (diwajibkan) bagi manusia melaksanakan haji ke
Baitullah bagi mereka yang mampu jalannya ( Q.S.Ali Imran : 97 )

Ungkapan” ولله “ dan ”على النا س “ dalam awal ayat tersebut memberi pengertian :

“ ولله “ bahwa Ibadah Haji itu kewajiban dari Allah dan harus dilakukan ihlas karena Allah.

“على النا س“ bahwa Ibadah Haji diwajibankan untuk manusia dan mempunyai manfaat bagi manusia ( oleh karenanya harus dihayati hikmah dan nilai-nilai yang terkaduing didalamnya agar dapat memberikan manfaat kepada manusia .

Dari pengertian ini dapat diambil kesimpulan bahwa melakukan ibadah Haji tanpa adanya keihlasan dan penghayatan terhadap hikmah dan nilai-nilai yang terkandung didalamnya maka pelaksanaan ibadah haji yang demikian itu tidak ada artinya dan dapat dikatagorikan sebagai Haji yang mardud (ditolak).

Haji ada 3 tingkatan :
a. Haji Mardud (ditolak) ialah pelaksanaan Haji yang tidak sesuai dengan syarat atau rukun baik yang lahiriyah maupun bathiniyah atau Ibadah Haji yang dicidrahi dengan perbuatan yang tidak terpuji (maksiyat) .

b. Haji Makbul ( diterima pas-pasan ) ialah pelaksanaan Ibadah Haji yang terpenuhi sayarat dan rukunnya baik yang lahiriyah maupun bathiniyah .

c. Haji Mabrur ( diterima dengan keistimewaan tertentu ) ialah pelaksanaan diikuti dengan beberapa amalan lain yang baik diluar syarat dan rukun dan selalu berusaha menjauhkan diri dari perbuatan yang tercela (maksiyah) dan selanjutnya mengamalkan nilai-nilai kebaikan yang terkandung dalam hikmah Ibadah Haji. Haji yang Mabrur inilah yang oleh Rasulullah saw dengan tegas dijanjikan dengan balasan sorga.

الحج المبرور ليس له جزاء الا الجنة ( رواه البخاري ومسلم )

Artinya : Haji yang Mabrur tidak ada baginya balasan terkecuali sorga
( H.R.Bukhori Muslim )
Perlu diketahui bahwa diantara tanda Haji Mabrur ialah adanya peningkatan prilaku kebaikan seseorang setelah melakukan Ibadah Haji, Rasulullah saw. pernah ditanya oleh sahabat tentang tanda-tanda kemabruran, beliau menjawab “Ucapan yang baik, Suka memberikan makanan dan Menciptakan kedamaian “ mengingat besarnya pengaruh kemabruran terhadap peningkatan prilaku kebaikan bagi seseorang yang melakukan Ibadah Haji maka wajarlah kalau Haji merupakan rukun Islam yang kelima .

Dalam Islam Haji mempunyai nilai plus, yaitu timbulnya “kepuasan jiwa” dan “perasaan semakin dekat” dengan Sang Pencipta, perasaan dekat ini melebihi cintanya kepada harta, tahta, keluarga dan saudara, bahkan ketika seseorang hamba melangkahkan kaki dari tempat tinggalnya menuju Rumah Allah (Baitullah) ia sudah berniat untuk bebas dari segala belenggu yang mengikatnya, hatinya tunduk kepada Yang Maha Kuasa, sehingga ia merasa bahwa dunia dan segala isinya luluh dan hancur dihadapan-Nya. Dengan ungkapan Labbaika Allahumma Labbaik/ لبيك اللهم لبيك ( Aku datang memenuhi panggilan-Mu Ya Allah ) seorang hamba telah menancapkan bendera syukur atas karunia-Nya dan berserah diri hanya kepada-Nya .

Dalam Ibadah Haji aspek ubudiyah (memperhambakan diri kepa Allah) itu nampak jelas, dimana hamba memperlihatkan kehinaan dan kerendahan martabat dirinya dihadapan Allah SWT. dengan pakaian ihram yang amat sederhana, tanpa berhias dan bersolek diri, tidak ada pangkat dan jabatan, mereka semua adalah hamba Allah yang datang menghadap kepada-Nya dengan penuh harapan untuk mendapatkan ampunan dari segala dosa dan kesalahan, serta menginginkan kebahagiaan hidup yang penuh rahmat, barakah dan ridho-Nya di dunia dan akhirat. Maka tak heran bagi kaum muslimin yang melakukan Ibadah Haji dalam setiap kesempatan dianjurkan untuk selalu memanjatkan do’a :
ربنا اتنا في الدنيا حسنة و في الاخرة حسنة وقنا عذابا النار

Artinya : Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan didunia dan akhirat dan
jauhkanlah kami dari siksa neraka

Tentu saja untuk terkabulnya suatu doa harus diikuti dengan usaha dan upaya yang keras dan sungguh-sungguh, bukan hanya berpangku tangan dengan menunggu keajaiban dari langit, walaupun doa tersebut telah diucapkan beberapa kali ditempat yang suci dan mustajabah .

Selain apa diuraikan diatas Ibadah Haji bukan saja merupakan respon terhadap panggilan Allah untuk beribadah Haji, tetapi juga mengandung manfaat lain yang dapat mereka peroleh diberbagai bidang kehidupan dan kepentingan didunia ini, seperti perdagangan, pertanian, pendidikan, ilmu pengetahuan, informatika dan sebagainya yang dapat menunjang kemajuan umat secara global disegala bidang kehidupan disamping solidaritas setia kawanan (ukhuwah).
Dengan demikian Haji merupakan ibadah yang multiguna, bukan saja berguna bagi kehidupan akhirat kelak, tetapi juga berguna untuk kehidupan didunia ini. Maha benar apa yang difirmankan Allah dalam Al-Qur’an Surat Al-Haj: 28

ليشــــــهد وا منـــــا فع لـــهم

Artinya : Supaya mereka dapat menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka.

Dengan beberapa pengalaman yang didapat selama melakukan ibadah haji akan merupakan bekal yang sangat berharga untuk meningkatkan kwalitas hidupnya ditengah-tengah masyarakat ..

Hadanallah Waiyyakum Ajmain, Wahasarona Waiyyakum fi Zumrtil Mabrurin

*) Penulis adalah pengasuh Pon. Pes. Ihyaul Ulum Dukun Gresik

10/27/2010

Banjir, Pemanasan Global, dan Keterbatasan Akal


By: Ubaidillah Bahrum

“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan Karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)” (Ar-Ruum: 41).

Sejak banjir besar yang terjadi pada 1994, daerah di sepanjang aliran Bengawan Solo, yang sebelumnya memiliki potensi tergenang banjir, selalu terhindar dari ancaman tahunan ini. Baru dua tahun ini, tepatnya mulai tahun 2008 dan terulang pada 2009, banjir musiman kembali menghampiri wilayah-wilayah yang dilalui Bengawan Solo. Aneka pertanyaanpun menyemburat: mengapa kini Bengawan Solo kembali meluapi rumah-rumah warga yang tinggal di sepanjang alirannya?

Sebetulnya sejak banjir besar 1994- yang menimbulkan dampak traumatik dalam kehidupan korbannya-, berbagai upaya dan langkah preventif (pencegahan) serta antisipatif terhadap berulangnya banjir, telah dilakukan oleh pemerintah. Tak lama berselang pasca 1994, aliran Bengawan Solo dipecah (disodet) langsung ke laut utara (tepatnya di daerah Sidayu Lawas). Kemudian diikuti dengan pembangunan dan peninggian tanggul penghalang luapan air Bengawan Solo. Dan ternyata hasilnya dapat langsung dirasakan. Sejak saat itu daerah-daerah aliran bengawan Solo steril (bersih/terhindar) dari banjir. Luapan Bengawan Solo, yang memang menjadi peristiwa rutin tahunan, tidak sampai mengancam dan mengganggu aktifitas warga.
Secara nalar (akal), langkah-langkah antisipatif dan preventif (pencegahan) yang diwujudkan dalam bentuk sodetan dan penanggulan di atas, sudah membuat ancaman banjir Bengawan Solo teratasi. Dengan dipecahnya aliran Bengawan Solo di Sidayu Lawas Lamongan, volume air yang mengarah ke muara (Ujungpangkah Gresik) semakin sedikit. Ini artinya, potensi banjir bukan lagi menjadi ancaman serius. Kalaupun terjadi luapan yang berada di atas ambang batas bengawan solo dan sodetannya, masih ada tanggul yang secara nalar (akal) dan kasat mata mampu menahan volume air. Dilihat dari sisi ini, maka amanlah daerah-daerah yang dilewati aliran bengawan solo yang telah sekian puluh tahun menjadi langganan banjir.

Tapi ternyata, “keamanan” ini hanya berlaku di wilayah nalar saja. Sejak tahun 2008 banjir kembali menyapa masyarakat yang tinggal di sepanjang aliran bengawan Solo. Peristiwa rutin tahunan yang sudah lama menghilang dari siklus (berjalannya) kehidupan masyarakat kembali terulang pada 2009 ini. Mengapa ini terjadi? Banyak faktor yang memengaruhinya. Pertama, tentunya peristiwa apapun tidak pernah lepas dari kehendak Allah. Kedua, disebabkan jeleknya manajemen perawatan (maintenance) saluran-saluran air (sungai, selokan, dsb.), termasuk saluran bengawan Solo dan sodetannya yang sudah mengalami pendangkalan sangat serius. akibat pendangkalan ini, daya tampung bengawan Solo berkurang, dan jika daya tampung berkurang maka potensi terjadinya banjir sangat besar.

Dan ketiga, terkait dengan pemanasan global. Pemanasan global adalah sebuah proses peningkatan suhu rata-rata atmosfir (lapisan gas yang melingkupi sebuah planet), laut, dan daratan bumi yang terjadi (hampir) diseluruh dunia. Menurut lembaga Panel Antarpemerintah Tentang Perubahan Iklim (Intergovernmental Panel on Climate Change), yaitu suatu panel ilmiah yang didirikan pada tahun 1988 yang terdiri dari para ilmuwan dari seluruh dunia, selama seratus tahun terakhir, suhu rata-rata global pada permukaan Bumi telah meningkat 0.74 ± 0.18 °C (1.33 ± 0.32 °F).
Di samping mengakibatkan terjadinya peningkatan suhu, pemanasan global juga telah menyebabkan perubahan-perubahan lain seperti naiknya permukaan air laut, iklim tidak stabil, gangguan ekologis (seperti punahnya beberapa spesies (jenis) hewan dan jenis tumbuhan), dan beberapa dampak sosial dan politik.

Dalam beberapa tahun terakhir, sering terjadi anomali (ketidaknormalan) iklim. Kadang musim yang mestinya musim hujan malah musim kemarau, demikian juga sebaliknya. Atau juga waktu masing-masing musim yang mengalami perubahan durasi (waktu): musim penghujan yang pendek dan musim kemarau yang panjang; gagal panen yang menyebabkan dampak sosial yang berupa kelaparan dimana-mana; terjadinya kenaikan permukaan air laut yang menyebabkan daerah-daerah pesisir tergenang.
Menurut para ilmuwan, pemanasan global diakibatkan oleh efek rumah kaca. Secara sederhana, rumah kaca dapat digambarkan: lapisan atmosfir dsb yang melingkupi bumi dan melindungi bumi dari tingginya panas sinar matahari ketika matahari memancarkan cahayanya ke bumi, cahaya tersebut akan berubah menjadi panas yang menghangatkan bumi. Sebagian dari panas tersebut akan diserap oleh bumi dan sebagian lagi akan dipantulkan ke angkasa luar. Karena kondisi permukaan bumi yang sebagian besar sudah tertutup oleh bangunan, aspal, dan benda-benda yang lain, daya serap bumi menjadi berkurang, sehingga panas matahari yang terpantul ke angkasa semakin besar. Sementara telah terjadi penumpukan gas rumah kaca di atmosfir bumi yang menyebabkan panas yang terpantul terperangkap di dalamnya. Akibatnya suhu panas meningkat. Ketika suhu panas terus mengalami peningkatan, bongkahan es di kutub utara meleleh. Pelelehan bongkahan es ini kemudian menyebabkan permukaan air laut meningkat. Akibatnya selanjutnya, aliran sungai ke muara terhambat, karena permukaan air laut lebih tinggi dari permukaan sungai.

Sementara di sisi lain, akibat pola membangun yang kurang bijak, daerah resapan air semakin sempit, sehingga daya resap bumi terhadap air mengalami penurunan (hutan menjadi gundul, sawah dan ladang menjadi pabrik, bukit-bukit diratakan dan rawa ditimbun dijadikan perumahan, permukaan bumi bukan lagi tanah, tapi aspal, semen, batu paving. Katika terjadi hujan, air hujan terjun bebas ke sungai. Terjadilah luapan. Sebab air tidak bisa lagi lancar mengalir ke muara yang sudah meninggi, permukaannya lebih tinggi dari permukaan sungai, sementara sungai-sungai telah mengalami pendangkalan yang salah satu sebabnya adalah banyaknya lumpur yang terbawa air ke sungai akibat hutan-hutan telah gundul dan permukaan bumi yang telah tertutup aneka material bangunan.

Apa yang baru saja terjadi di daerah kita, hanyalah secuil cerita dari setumpukan tragedi dunia yang muncul akibat salah kelola terhadap alam dan keangkuhan manusia yang telah menempatkan nalar akliyahnya di atas potensi-potensi lain yang dikaruniakan Allah. Dari peristiwa di atas tergambar betapa terbatasnya daya nalar manusia. Rencana-recana manusiawi yang diatas kertas seolah begitu sempurna, setelah diterapkan dan diwujudkan ternyata celah kekurangan terpampang di sana sini. Ketika rancangan sodetan dan penaggulan bengawan solo dilakukan, secara nalar rancangan itu tampak begitu indah, sempurna, mampu meyelesaikan segala persoalan yang menyebabkan banjir. Tapi selang beberapa tahun setelah rancangan itu diwujudkan, terjadilah hal-hal yang pada pada saat dirancang tidak terdeteksi oleh daya nalar: pendangkalan dasar sungai, hubungan antara pemanasan global dengan kemungkinan terjadinya luapan bengawan solo.

Sejak beberapa tahun yang lalu, para ilmuwan dan pemimpin negara telah sibuk berbicara tentang dampak pemanasan global dan upya-upaya yang harus dilakukan untuk menanggulanginya, tapi ternyata peristiwa-peristiwa alam selalu lebih cepat dari kemampuan nalar dalam mengantisipasinya.
Di samping keterbatasan pada dirinya sendiri, nalar kognitif (akal berfikir) ternyata cenderung melegitimasi (menjadi pembenar) ketamakan-ketamakan manusia yang mendapatkan pembenaran dari proses-proses yang bersifat akliyah. Lihat misalnya, atas nama nalar kebersihan, kenyamanan, dan kesejahteraan, manusia mendapatkan pembenaran menutup permukaan bumi dengan paving dan semen; manusia mendapatkan pembenaran untuk terus menambah luas dan panjang jalan hanya untuk mengakomodasi kerakusan para kolektor kendaraan; manusia mendapatkan pembenaran meratakan bukit dan menutup rawa untuk disulap menjadi perumahan yang sebagian besar hanya merupakan pemenuhan terhadap kesombongan dan kekikiran para pemilik modal (pengusaha); manusia mendapatkan pembenaran untuk mengalihkfungsikan sawah dan ladang untuk dijadikan pabrik; manusia mendapatkan pembenaran untuk menggunduli hutan sehingga longsor terjadi dimana-mana. Akibatnya, keseimbangan bumi terganggu yang menyebabkan bencana terjadi dimana-mana.

“Negeri akhirat itu, Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di (muka) bumi. Dan kesudahan (yang baik itu adalah bagi orang-orang yang bertakwa” (Al Qashash: 83).

*) Penulis adalah alumni Pon. Pes. Ihyaul Ulum Dukun Gresik

Google Affiliate Network

Melaksanakan Haji, Menuai Aksi

Oleh: M. Faisol Fatawi

Ketika kita ditanya, apakah ukuran kesalehan keberagamaan seseorang di hadapan Tuhannya?, tentu sulit bagi kita untuk menjawabnya. Mungkin sebagian kita ada yang menjawab bahwa wujud kesalehan seseorang itu tidak lain adalah tingkat ke-rajinannya dalam menjalankan berbagai ajaran (ritual) yang telah digariskan oleh-Nya. Atau barangkali sebagian orang juga akan menjawab lain, yaitu bahwa tingkat kesalehan dapat diukur oleh sejauhmana nilai-nilai ibadah yang dikerjakan mampu merubah akhlak (perilaku) hidupnya sehingga seseorang itu dapat menjalani hidup dengan penuh kemuliaan dan keagungan. Tolak ukur jawaban pertama menekankan pada aspek individu (hubungan seseorang dengan Tuhanny), dan jawaban menekankan pada apek sosial; yang pertama sering disebut dengan kesalehan individu, sedangkan yang kedua sering disebut dengan kesalehan sosial.

Ada sebuah qaul hikmah yang mengatakan “nahnu nahkumu bidz dzawahir, wa allahu yahkumu bis sara’ir.” Terjemahan bebasnya adalah bahwa manusia hanya bisa menilai bentuk lahirnya saja, sementara hanya Tuhan dapat menilai aspek-aspek batinnya. Qaul hikmah seperti itu agaknya ada benarnya. Karena, sudah mafhum bahwa tidak satu pun orang diantara kita yang mampu menilai apa-apa yang tersembunyi, apalagi yang terkait dengan hubungan antara seseorang dengan Tuhannya. Manusia hanya mampu melihat dan menilai apa-apa yang nampak atau hal-hal yang dapat dicerap secara lahir.

Dalam ukuran Islam, kebajikan seorang muslim selalu diukur dengan iman dan amal shaleh. Istilah iman dan amal shaleh selalu dinyatakan berbarengan dalam hampir setiap ayat al-Qur’an. Kata iman didahulukan dan disusul kemudian oleh kata amilus shalihah. Iman meliputi dimensi batin (esoteris), sedangkan amilus shalihah merupakan dimensi yang bisa dilihat oleh pancaindera atau merupakan sesuatu yang bersifat eksoteris.

Dalam ranah yang sedikit agak filosofis dapat dikatakan, bahwa iman merupakan aspek teoritis, sedangkan amal shaleh adalah aspek praksis. Sebagai teori, iman tidak lain adalah pengakuan setiap individu akan keesaan Allah, yang harus dinyatakan dalam lisan dan ditanamkan dalam hati. Alat ukur satu-satunya untuk mengetahui tingkat keimanan adalah menjalankan ajaran agama yang sudah digariskan (amal bi al-arkan). Pada dimensi yang terakhir ini muncul apa yang disebut dengan praksis (amal shalih). Maka, keimanan seseorang tidak menjadi berarti jika tidak diaplikasikan kedalam bentuk amal shalih yang efeknya dapat dirasakan oleh kepentingan banyak orang (umat beragama). Sederhananya, perumpamaan orang yang beriman dengan tidak disertai dengan berbuat amal kebajikan adalah laksana sebuah tumbuhan yang hidup tetapi tidak berbuah. Tumbuhan tersebut eksis, tetapi keberadaannya tidak memberikan manfaat apapun.

Hari ini, jamaah haji Indonesia mulai diterbangkan dari Arab Saudi untuk pulang menuju kampung tempat tinggal masing-masing, setelah hampir satu bulan lebih menunaikan manasik haji. Harapan kita semua adalah semoga mereka mampu meraih haji maqbul dan mabrur. Dikatakan maqbul karena semoga semua ritualitas ibadahnya diterima di sisi-Nya. Dan dikatakan mabrur karena semoga ritualitas yang sudah dijalankan di tanah suci mampu memberikan keteladanan sosial dalam diri mereka untuk dapat menjalan amal shalih.

Fenomena haji di negeri kita ini sungguh menjadi fenomena yang luar biasa. Betapa tidak, setiap tahun tidak kurang dari ribuan jamaah haji Indonesia yang memenuhi tanah Arab. Berdasarkan data yang ada, setiap tahun selalu terjadi peningkatan jumlah orang Islam yang ingin melakukan haji. Bahkan ada yang mendaftar tahun sekarang (2009, red), tetapi pelaksanaannya baru lima tahun mendatang. Melihat antusiame masyarakat terhadap ibadah haji yang tinggi seperti itu, pihak bank pun memasang dan menawarkan sebuah program yang biasa disebut dengan “haji talangan”. Entah di waktu mendatang, program apa lagi yang hendak ditawarkan dalam rangka mempermudah umat Islam supaya bisa menjalankan rukun Islam kelima itu.

Namun, satu hal yang sangat penting dan sering kita lupakan, mampukah ibadah haji yang kita lakukan dapat mewarnai amal kebajikan-sosial di lingkungan kita masing-masing; mengerem praktik korupsi, mencuri, saling mengolok-olok antar sesama dan seterusnya; atau membangkitkan semangat kita untuk membangun peradaban umat yang berperi kemanusiaan dan keadilan? Lebih tragis lagi, berhaji untuk sekedar mengejar status sosial yang bergengsi dengan titel H (Haji) didepan nama saja? Semoga kita dapat menyatukan gerak keimanan (aspek teoritis) dan amal kebajikan (aspek praktis) kita.

Berdamai Dengan Alam

By: Ida Fitriyah, S.Ei.

Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan Karena perbuatan tangan manusia,
supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka,
agar mereka kembali ke jalan yang benar (surat Ar-Rum;41).

Memasuki musim hujan, sering kita merasa ricuh dan sulit beraktifitas. Mau ke mana ada bayangan ke hujanan, basah, perasaan was-was takut suara petir dan sambarannya. Beberapa wilayah juga teranyam pemadaman, listrik tidak menyala berjam-jam, malam hari gelap dan sedabrek keresahan yang melanda jiwa manusia. Namun, lebih dari bayangan yang tidak menyenangkan tersebut, marilah kita intropeksi diri atas kondisi alam yang berdampingan dengan penciptaan manusia.
Secara garis besar, hubungan manusia sebagai hamba Allah terbagi atas tiga hal; hubungan dengan Allah Swt (hablu minAllah), dengan sesama (hablu minnas) dan dengan alam (hablu minl ‘alam). Kedekatan manusia dengan Allah menjadikan hamba yang taat dan arif. Sedang dengan sesama menjadikan hamba yang peramah, santun, berakhlakul karimah. Dan berdamai dengan alam menjadikan manusia bijaksana mengatur alam sekitarnya. Ketiga-tiganya berlaku satu, manunggal dalam nilai ketauhidan pada Allah Swt.
Manusia dan alam memiliki posisi yang sama, yakni ciptaan tuhan. Tidak ada yang membedakan keduanya kecuali manusia diberi hak untuk mengatur dan mempergunakannya. Namun, dari sisi alam ada hukum sebab-akibat yang selalu menyertai. Jika manusia tidak menanam pohoh misalnya, maka udara akan panas, rawan banjir dan tanah longsor. Inilah tuntutan yang harus diperhatikan demi kebahagiaan hidup di dunia.
Kondisi kealaman senantiasa berubah-ubah menurut kejadiaannya. Hukum fisika menjelaskan bahwa perubahan material tertentu menyebabkan terjadinya gaya atau situasi baru. Melihat alasan seperti ini hendaknya kita juga mengimani apa yang telah ditugaskan pada alam. Melalaikannya berarti juga melupakan sisi kebesaran Allah Swt. Matahari diputar menurut orbitnya, air mengalir menurut kerendahannya, batu jatuh menurut gravitasinya dan ayat-ayat Allah yang terwujud sesuai kondisi yang di tentukan.
Hari ini jika ada peristiwa yang berubah dengan kondisi kealaman, maka layak untuk kita pikirkan. Apakah benar manusia sudah menjalankan tugasnya di dunia dengan ma’ruf (baik), mengayomi, dan menjaganya dengan baik? Jangan-jangan kita semena-mena dengan alam, yang tanpasadar menjadikannya sebagai obyek, korban pemerasan nafsu hewaniyah manusia semata. Ingat!!! Dalam sisi ibadah dan syukur kepada Allah Swt, mempergunakan dengan baik dan menjaganya adalah salah satu diantara hikmah kita bersyukur pada Allah.
Sekarang coba kita koreksi dengan kejadian alam yang telah ada. Bagi para petani musim hujan tahun ini sedikit terlambat tidak seperti tahun-tahun sebelumnya. Beberapa tahun belakangan ini, hujan seakan-akan tidak mengenal bulan sebagaimana mestinya. Dulu para petani memprediksi, dan juga menjadi rutinitas pekerjaan, hujan biasanya turun pada bulan 11 atau 12. Akibatnya, petani terlambat memprediksikan kapan musim tanam akan tiba.
Tidak hanya yang terjadi di masyarakat pertanian. Pada masyarakat nelayan juga mengalami hal serupa. Beberpa kali kita lihat di televisi para nelayan tidak melakukan aktivitas mencari ikan di laut karena takut terkena terpaan angin dan ombak yang begitu besar. Beberapa di antaranya juga sampai ada yang hanyut, hilang dan ditemukan telah meninggal tengelam di laut lepas. Yang parah lagi, isu ternjadinya bencana alam pada tahun 2012 seperti yang dibayangkan orang-orang Barat, diprediksi bakal terjadi. Oleh sebab itu, alam yang memiliki kedudukan sama dengan manusia harus diperhatikan.
Oleh sebab itu, untuk mesyukuri nikmat dan berlaku adil dengan alam sehingga menambah rasa keimanan. Maka, kita harus menjaga kondisi alam dengan baik. Alam semesta adalah ciptaan Allah Swt. Dia menentukan ukuran dan hukum-hukumnya. Alam juga menunjukan tanda-tanda keberadaan, sifat dan perbuatan Allah.
Sebagai ciptaan Allah, alam berkedudukan sederajat dengan manusia. Namun Allah menundukan alam bagi manusia , dan bukan sebaliknya . Jika sebaliknya yang terjadi, maka manusia akan terjebak dalam penghambaan terhadap alam, bukan penghambaan terhadap Allah. Karena itu sesungguhnya berkedudukan sebagai khalifah di bumi bertujuan untuk menjadikan bumi maupun alam sebagai obyek dan wahana dalam bertauhid dan menegaskan dirinya. Sebagaimana firman Allah Swt;

Artinya: “ Dan kami Telah menghamparkan bumi dan menjadikan padanya gunung-gunung dan kami tumbuhkan padanya segala sesuatu menurut ukuran. Dan kami Telah menjadikan untukmu di bumi keperluan-keperluan hidup, dan (Kami menciptakan pula) makhluk-makhluk yang kamu sekali-kali bukan pemberi rezki kepadanya”.

Perlakuan manusia terhadap alam tersebut dimaksudkan untuk memakmurkan kehidupan di dunia dan diarahkan kepada kebaikan di akhirat. Di sini berlaku upaya berkelanjutan untuk mensucikan segala aspek kehidupan manusia. Sebab akhirat adalah masa masa depan yang tak terelakan. Kehidupan akhirat akan dicapai dengan sukses kalau kehidupan manusia benar-benar fungsional dan beramal shaleh.
Kearah semua itulah hubungan manusia dengan alam ditujukan. Dengan sendirinya cara-cara memanfaatkan alam , memakmurkan bumi dan menyelenggarakan kehidupan pada umumnya juga harus bersesuaian dengan tujuan yang terdapat dalam hubungan antara manusia dengan alam tersebut. Cara-cara tersebut dilakukan untuk mencukupi kebutuhan dasar dalam kehidupan bersama. Melalui pandangan ini haruslah dijamin kebutuhan manusia terhadap pekerjaan ,nafkah dan masa depan. Maka jelaslah hubungan manusia dengan alam merupakan hubungan pemanfaatan alam untuk kemakmuran bersama. Hidup bersama antar manusia berarti hidup dalam kerja sama , tolong menolong dan tenggang rasa.

‘Tis the season for placement targeting: Display advertising - Inside AdSense

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Powered by Blogger