10/27/2010

Banjir, Pemanasan Global, dan Keterbatasan Akal


By: Ubaidillah Bahrum

“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan Karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)” (Ar-Ruum: 41).

Sejak banjir besar yang terjadi pada 1994, daerah di sepanjang aliran Bengawan Solo, yang sebelumnya memiliki potensi tergenang banjir, selalu terhindar dari ancaman tahunan ini. Baru dua tahun ini, tepatnya mulai tahun 2008 dan terulang pada 2009, banjir musiman kembali menghampiri wilayah-wilayah yang dilalui Bengawan Solo. Aneka pertanyaanpun menyemburat: mengapa kini Bengawan Solo kembali meluapi rumah-rumah warga yang tinggal di sepanjang alirannya?

Sebetulnya sejak banjir besar 1994- yang menimbulkan dampak traumatik dalam kehidupan korbannya-, berbagai upaya dan langkah preventif (pencegahan) serta antisipatif terhadap berulangnya banjir, telah dilakukan oleh pemerintah. Tak lama berselang pasca 1994, aliran Bengawan Solo dipecah (disodet) langsung ke laut utara (tepatnya di daerah Sidayu Lawas). Kemudian diikuti dengan pembangunan dan peninggian tanggul penghalang luapan air Bengawan Solo. Dan ternyata hasilnya dapat langsung dirasakan. Sejak saat itu daerah-daerah aliran bengawan Solo steril (bersih/terhindar) dari banjir. Luapan Bengawan Solo, yang memang menjadi peristiwa rutin tahunan, tidak sampai mengancam dan mengganggu aktifitas warga.
Secara nalar (akal), langkah-langkah antisipatif dan preventif (pencegahan) yang diwujudkan dalam bentuk sodetan dan penanggulan di atas, sudah membuat ancaman banjir Bengawan Solo teratasi. Dengan dipecahnya aliran Bengawan Solo di Sidayu Lawas Lamongan, volume air yang mengarah ke muara (Ujungpangkah Gresik) semakin sedikit. Ini artinya, potensi banjir bukan lagi menjadi ancaman serius. Kalaupun terjadi luapan yang berada di atas ambang batas bengawan solo dan sodetannya, masih ada tanggul yang secara nalar (akal) dan kasat mata mampu menahan volume air. Dilihat dari sisi ini, maka amanlah daerah-daerah yang dilewati aliran bengawan solo yang telah sekian puluh tahun menjadi langganan banjir.

Tapi ternyata, “keamanan” ini hanya berlaku di wilayah nalar saja. Sejak tahun 2008 banjir kembali menyapa masyarakat yang tinggal di sepanjang aliran bengawan Solo. Peristiwa rutin tahunan yang sudah lama menghilang dari siklus (berjalannya) kehidupan masyarakat kembali terulang pada 2009 ini. Mengapa ini terjadi? Banyak faktor yang memengaruhinya. Pertama, tentunya peristiwa apapun tidak pernah lepas dari kehendak Allah. Kedua, disebabkan jeleknya manajemen perawatan (maintenance) saluran-saluran air (sungai, selokan, dsb.), termasuk saluran bengawan Solo dan sodetannya yang sudah mengalami pendangkalan sangat serius. akibat pendangkalan ini, daya tampung bengawan Solo berkurang, dan jika daya tampung berkurang maka potensi terjadinya banjir sangat besar.

Dan ketiga, terkait dengan pemanasan global. Pemanasan global adalah sebuah proses peningkatan suhu rata-rata atmosfir (lapisan gas yang melingkupi sebuah planet), laut, dan daratan bumi yang terjadi (hampir) diseluruh dunia. Menurut lembaga Panel Antarpemerintah Tentang Perubahan Iklim (Intergovernmental Panel on Climate Change), yaitu suatu panel ilmiah yang didirikan pada tahun 1988 yang terdiri dari para ilmuwan dari seluruh dunia, selama seratus tahun terakhir, suhu rata-rata global pada permukaan Bumi telah meningkat 0.74 ± 0.18 °C (1.33 ± 0.32 °F).
Di samping mengakibatkan terjadinya peningkatan suhu, pemanasan global juga telah menyebabkan perubahan-perubahan lain seperti naiknya permukaan air laut, iklim tidak stabil, gangguan ekologis (seperti punahnya beberapa spesies (jenis) hewan dan jenis tumbuhan), dan beberapa dampak sosial dan politik.

Dalam beberapa tahun terakhir, sering terjadi anomali (ketidaknormalan) iklim. Kadang musim yang mestinya musim hujan malah musim kemarau, demikian juga sebaliknya. Atau juga waktu masing-masing musim yang mengalami perubahan durasi (waktu): musim penghujan yang pendek dan musim kemarau yang panjang; gagal panen yang menyebabkan dampak sosial yang berupa kelaparan dimana-mana; terjadinya kenaikan permukaan air laut yang menyebabkan daerah-daerah pesisir tergenang.
Menurut para ilmuwan, pemanasan global diakibatkan oleh efek rumah kaca. Secara sederhana, rumah kaca dapat digambarkan: lapisan atmosfir dsb yang melingkupi bumi dan melindungi bumi dari tingginya panas sinar matahari ketika matahari memancarkan cahayanya ke bumi, cahaya tersebut akan berubah menjadi panas yang menghangatkan bumi. Sebagian dari panas tersebut akan diserap oleh bumi dan sebagian lagi akan dipantulkan ke angkasa luar. Karena kondisi permukaan bumi yang sebagian besar sudah tertutup oleh bangunan, aspal, dan benda-benda yang lain, daya serap bumi menjadi berkurang, sehingga panas matahari yang terpantul ke angkasa semakin besar. Sementara telah terjadi penumpukan gas rumah kaca di atmosfir bumi yang menyebabkan panas yang terpantul terperangkap di dalamnya. Akibatnya suhu panas meningkat. Ketika suhu panas terus mengalami peningkatan, bongkahan es di kutub utara meleleh. Pelelehan bongkahan es ini kemudian menyebabkan permukaan air laut meningkat. Akibatnya selanjutnya, aliran sungai ke muara terhambat, karena permukaan air laut lebih tinggi dari permukaan sungai.

Sementara di sisi lain, akibat pola membangun yang kurang bijak, daerah resapan air semakin sempit, sehingga daya resap bumi terhadap air mengalami penurunan (hutan menjadi gundul, sawah dan ladang menjadi pabrik, bukit-bukit diratakan dan rawa ditimbun dijadikan perumahan, permukaan bumi bukan lagi tanah, tapi aspal, semen, batu paving. Katika terjadi hujan, air hujan terjun bebas ke sungai. Terjadilah luapan. Sebab air tidak bisa lagi lancar mengalir ke muara yang sudah meninggi, permukaannya lebih tinggi dari permukaan sungai, sementara sungai-sungai telah mengalami pendangkalan yang salah satu sebabnya adalah banyaknya lumpur yang terbawa air ke sungai akibat hutan-hutan telah gundul dan permukaan bumi yang telah tertutup aneka material bangunan.

Apa yang baru saja terjadi di daerah kita, hanyalah secuil cerita dari setumpukan tragedi dunia yang muncul akibat salah kelola terhadap alam dan keangkuhan manusia yang telah menempatkan nalar akliyahnya di atas potensi-potensi lain yang dikaruniakan Allah. Dari peristiwa di atas tergambar betapa terbatasnya daya nalar manusia. Rencana-recana manusiawi yang diatas kertas seolah begitu sempurna, setelah diterapkan dan diwujudkan ternyata celah kekurangan terpampang di sana sini. Ketika rancangan sodetan dan penaggulan bengawan solo dilakukan, secara nalar rancangan itu tampak begitu indah, sempurna, mampu meyelesaikan segala persoalan yang menyebabkan banjir. Tapi selang beberapa tahun setelah rancangan itu diwujudkan, terjadilah hal-hal yang pada pada saat dirancang tidak terdeteksi oleh daya nalar: pendangkalan dasar sungai, hubungan antara pemanasan global dengan kemungkinan terjadinya luapan bengawan solo.

Sejak beberapa tahun yang lalu, para ilmuwan dan pemimpin negara telah sibuk berbicara tentang dampak pemanasan global dan upya-upaya yang harus dilakukan untuk menanggulanginya, tapi ternyata peristiwa-peristiwa alam selalu lebih cepat dari kemampuan nalar dalam mengantisipasinya.
Di samping keterbatasan pada dirinya sendiri, nalar kognitif (akal berfikir) ternyata cenderung melegitimasi (menjadi pembenar) ketamakan-ketamakan manusia yang mendapatkan pembenaran dari proses-proses yang bersifat akliyah. Lihat misalnya, atas nama nalar kebersihan, kenyamanan, dan kesejahteraan, manusia mendapatkan pembenaran menutup permukaan bumi dengan paving dan semen; manusia mendapatkan pembenaran untuk terus menambah luas dan panjang jalan hanya untuk mengakomodasi kerakusan para kolektor kendaraan; manusia mendapatkan pembenaran meratakan bukit dan menutup rawa untuk disulap menjadi perumahan yang sebagian besar hanya merupakan pemenuhan terhadap kesombongan dan kekikiran para pemilik modal (pengusaha); manusia mendapatkan pembenaran untuk mengalihkfungsikan sawah dan ladang untuk dijadikan pabrik; manusia mendapatkan pembenaran untuk menggunduli hutan sehingga longsor terjadi dimana-mana. Akibatnya, keseimbangan bumi terganggu yang menyebabkan bencana terjadi dimana-mana.

“Negeri akhirat itu, Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di (muka) bumi. Dan kesudahan (yang baik itu adalah bagi orang-orang yang bertakwa” (Al Qashash: 83).

*) Penulis adalah alumni Pon. Pes. Ihyaul Ulum Dukun Gresik

0 comments:

Post a Comment

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Powered by Blogger