Oleh: M. Faisol Fatawi
Ketika kita ditanya, apakah ukuran kesalehan keberagamaan seseorang di hadapan Tuhannya?, tentu sulit bagi kita untuk menjawabnya. Mungkin sebagian kita ada yang menjawab bahwa wujud kesalehan seseorang itu tidak lain adalah tingkat ke-rajinannya dalam menjalankan berbagai ajaran (ritual) yang telah digariskan oleh-Nya. Atau barangkali sebagian orang juga akan menjawab lain, yaitu bahwa tingkat kesalehan dapat diukur oleh sejauhmana nilai-nilai ibadah yang dikerjakan mampu merubah akhlak (perilaku) hidupnya sehingga seseorang itu dapat menjalani hidup dengan penuh kemuliaan dan keagungan. Tolak ukur jawaban pertama menekankan pada aspek individu (hubungan seseorang dengan Tuhanny), dan jawaban menekankan pada apek sosial; yang pertama sering disebut dengan kesalehan individu, sedangkan yang kedua sering disebut dengan kesalehan sosial.
Ada sebuah qaul hikmah yang mengatakan “nahnu nahkumu bidz dzawahir, wa allahu yahkumu bis sara’ir.” Terjemahan bebasnya adalah bahwa manusia hanya bisa menilai bentuk lahirnya saja, sementara hanya Tuhan dapat menilai aspek-aspek batinnya. Qaul hikmah seperti itu agaknya ada benarnya. Karena, sudah mafhum bahwa tidak satu pun orang diantara kita yang mampu menilai apa-apa yang tersembunyi, apalagi yang terkait dengan hubungan antara seseorang dengan Tuhannya. Manusia hanya mampu melihat dan menilai apa-apa yang nampak atau hal-hal yang dapat dicerap secara lahir.
Dalam ukuran Islam, kebajikan seorang muslim selalu diukur dengan iman dan amal shaleh. Istilah iman dan amal shaleh selalu dinyatakan berbarengan dalam hampir setiap ayat al-Qur’an. Kata iman didahulukan dan disusul kemudian oleh kata amilus shalihah. Iman meliputi dimensi batin (esoteris), sedangkan amilus shalihah merupakan dimensi yang bisa dilihat oleh pancaindera atau merupakan sesuatu yang bersifat eksoteris.
Dalam ranah yang sedikit agak filosofis dapat dikatakan, bahwa iman merupakan aspek teoritis, sedangkan amal shaleh adalah aspek praksis. Sebagai teori, iman tidak lain adalah pengakuan setiap individu akan keesaan Allah, yang harus dinyatakan dalam lisan dan ditanamkan dalam hati. Alat ukur satu-satunya untuk mengetahui tingkat keimanan adalah menjalankan ajaran agama yang sudah digariskan (amal bi al-arkan). Pada dimensi yang terakhir ini muncul apa yang disebut dengan praksis (amal shalih). Maka, keimanan seseorang tidak menjadi berarti jika tidak diaplikasikan kedalam bentuk amal shalih yang efeknya dapat dirasakan oleh kepentingan banyak orang (umat beragama). Sederhananya, perumpamaan orang yang beriman dengan tidak disertai dengan berbuat amal kebajikan adalah laksana sebuah tumbuhan yang hidup tetapi tidak berbuah. Tumbuhan tersebut eksis, tetapi keberadaannya tidak memberikan manfaat apapun.
Hari ini, jamaah haji Indonesia mulai diterbangkan dari Arab Saudi untuk pulang menuju kampung tempat tinggal masing-masing, setelah hampir satu bulan lebih menunaikan manasik haji. Harapan kita semua adalah semoga mereka mampu meraih haji maqbul dan mabrur. Dikatakan maqbul karena semoga semua ritualitas ibadahnya diterima di sisi-Nya. Dan dikatakan mabrur karena semoga ritualitas yang sudah dijalankan di tanah suci mampu memberikan keteladanan sosial dalam diri mereka untuk dapat menjalan amal shalih.
Fenomena haji di negeri kita ini sungguh menjadi fenomena yang luar biasa. Betapa tidak, setiap tahun tidak kurang dari ribuan jamaah haji Indonesia yang memenuhi tanah Arab. Berdasarkan data yang ada, setiap tahun selalu terjadi peningkatan jumlah orang Islam yang ingin melakukan haji. Bahkan ada yang mendaftar tahun sekarang (2009, red), tetapi pelaksanaannya baru lima tahun mendatang. Melihat antusiame masyarakat terhadap ibadah haji yang tinggi seperti itu, pihak bank pun memasang dan menawarkan sebuah program yang biasa disebut dengan “haji talangan”. Entah di waktu mendatang, program apa lagi yang hendak ditawarkan dalam rangka mempermudah umat Islam supaya bisa menjalankan rukun Islam kelima itu.
Namun, satu hal yang sangat penting dan sering kita lupakan, mampukah ibadah haji yang kita lakukan dapat mewarnai amal kebajikan-sosial di lingkungan kita masing-masing; mengerem praktik korupsi, mencuri, saling mengolok-olok antar sesama dan seterusnya; atau membangkitkan semangat kita untuk membangun peradaban umat yang berperi kemanusiaan dan keadilan? Lebih tragis lagi, berhaji untuk sekedar mengejar status sosial yang bergengsi dengan titel H (Haji) didepan nama saja? Semoga kita dapat menyatukan gerak keimanan (aspek teoritis) dan amal kebajikan (aspek praktis) kita.
10/27/2010
Melaksanakan Haji, Menuai Aksi
12:37 AM
OGB community
0 comments:
Post a Comment