M. Miftah Wahyudi
Gema takbir, tahmid dan tahlil, tanda kebesaran Hari Raya Idul Adha belum lama berselang. Sayup-sayup masih tersirat di hati seorang muslim, betapa getaran takbir kebesaran tuhan berulangkali disebut; Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar Walillahihamd. Namun, menjadi sebuah tanda tanya, seberapa besarkah kebesaran Hari Raya Idul Adha, sehingga kehadirannya tak lagi memperdulikan status manapun, semua orang muslim baik kaya maupun si miskin, ulama maupun yang culas, priyayi maupun abdi, semua menikmati kebesaran Hari Raya Idul Adha, paling tidak merasakan kebesaran itu dengan seiris daging kurban? Allahu Akbar Walillahihamd.
Hari Raya Kurban adalah ritual tahunan yang dihasilkan dari perjalanan keimanan nabi Ibrohim. Beliau rela mengorbankan anaknya, nabi Ismail, untuk disembelih atas perintah Allah Swt. Satu perintah yang amat berat dijalankan oleh seorang hamba di muka bumi, walau seorang nabi sekalipun. Dengan keridlo’an dan rahmat Allah Swt, akhirnya perintah ini dapat dijalankan nabi Ibrohim.
Berdasar pada perintah di atas, tulisan ini hendak menjelaskan kembali makna kurban yang belakangan ini konteks kurban lebih pada makna materielnya, seiris daging yang diperebutkan beramai-ramai, ditunggu mulai dini hari seperti yang terjadi di Istiqlal, dan beberapa tempat lainnya. Padahal, dasar ibadah kurban berhubungan dengan “nilai pengorbanan diri”, memberikan sesuatu atau merelakan sebagian dari diri manusia untuk dikorbankan demi sebuah tujuan.
Inti tujuan tersebut di atas merupakan penyucian diri atas kehendak nafsu, yang tanpa sadar bergantung selain dari Allah. Hanya tendensi ketauhidan sajalah tujuan dari kurban. Yang pada akhirnya, nilai penghambaan seorang hamba dinilai atas seberapa besar rasa pengorbanannya bagi Allah Swt.
Sandaran Teologis
Tujuan syar’i agama Islam dalam kurban akbar nabi Ibrahim adalah penyadaran diri bahwa bagian dari diri manusia berupa “nafas (hembusan) kehidupan”, tidak satupun menjadi kekuasaan manusia sepenuhnya. Bagi manusia semua adalah terberi, hingga ruh suci yang tersusun oleh hal-hal ajaib dan rahasia diberikan cuma-cuma tanpa meminta-minta. Maka tidak salah jika salah satu tujuan dasar syar’i adalah “hifdzul an-nafs” (menjaga diri), karena kehidupan manusia adalah anugrah terbesar Allah Swt bagi seluruh umat manusia. Tanda terciptanya manusia di dunia sesungguhnya merupakan perwujudan manusia selamanya (Khuliqna lil abad). Oleh karenanya, menjaga diri berarti bersyukur atas ciptaan yang telah diberikan.
Dalam Al-Qur’an dijelaskan barangsiapa membunuh seseorang tanpa ada alasan syar’i, maka pada hakekatnya dia telah membunuh seluruh umat manusia.
“Oleh karena itu, Kami tetapkan bagi Bani Israel bahwa barang siapa membunuh seorang manusia –bukan disebabkan pembunuhan atau membuat kerusakan di muka bumi- maka seakan-akan ia telah membunuh manusia secara keseluruhan. Dan barang siapa memelihara kehidupan seorang manusia, maka seakan-akan ia telah memelihara kehidupan manusia seluruhnya. (Al-Maidah; 32)
Tahapan kedua, proses penjagaan ruh manusia di dunia dibebani pula oleh tanggung jawab “persaksian”, bahwa pernah bersaksi kepada Allah Swt untuk mengakuinya sebagai tuhan satu-satunya. Hal ini menandakan manusia membawa misi suci ”tauhid” atau rasa “keimanan”. Cermin sederhana makna ketauhidan adalah tidak menyamakan atau memperbandingkannya dengan apapun.
Tawaran finalnya adalah, jika ada pengandai-andaian struktur yang berkuasa di luar kemaujudan Allah Swt, entah yang disandarkan pada kekuatan fisik seperti kekuatan otot, kedalam pikiran seperti tingginya pengetahuan, maupun kekuatan harta baik berupa uang maupun anak keturunan. Maka hal itu semua dihukumi kufur. Baik pada tingkat terendah berupa kufur nikmat hingga kufur dzat yaitu syirik yang tak terampuni. Dengan demikian secara eksplisit manusia memiliki dua misi suci, menjaga kesucian dirinya dan kesucian Allah Swt yang mahasuci.
Dari dua tahapan di atas, ada tiga unsur utama yang menjadi simbol kebesaran kurban nabi Ibrahim. Pertama, menjaga titipan suci Allah Swt berupa “ruh” yang di akhirat nanti merupakan bentuk “kejadian” yang dapat berkumpul dan berjumpa dengan-Nya. Kedua, mengimani misi manusia di dunia yaitu menjaga dan menyebarkan amanah suci berupa “ketahuidan” atau “keimanan” pada Allah Swt, yang terimplementasi bahwa hanya Allahlah penentu dan berhak atas segalanya, tak ada persekutuan terkecilpun di dunia ini kecuali hanya mencari ridlonya. Ketiga Allah Swt adalah suci dan tiada kembali kepadanya kecuali dengan kesucian pula.
Terpadunya tiga hakikat dari pemahaman tujuan syar’i ini menunjukkan bahwa, ajaran Islam diturunkan semata-mata menyatukan kesucian tuhan dan kesucian makhluk. Keharmonisan yang tumbuh dari keduanya terwujudkan pada hakikat syukur atas semua yang diciptakan Allah Swt. Hal ini menandakan bahwa keragaman suku, ras, etnik, jenis kelamin, bahkan agama sekalipun, semua itu adalah sunnatullah sebagai penciptaan yang suci. Perbedaan antara yang satu dan yang lainnya, terletak pada pusat di mana manusia berjuang untuk membawanya menuju yang suci, yakni agama Islam.
Ketauladanan Nabi Ibrahim
Lalu bagaimana dengan peristiwa penyembelihan atau kurban yang dilakukan nabi Ibrohim pada nabi Ismail. Tidakkah hal ini menjadi perlawanan dari tujuan syar’i itu sendiri, walupun pada akhirnya ditukar dengan seekor kambing?
Maha Besar Allah Swt, dengan Maha Belas-Kasih dan Sayang-Nya, implementasi kurban nabi Ibrohim diganti dengan binatang yang jauh di bawah derajad penciptaan manusia. Setidaknya ada dua sandaran teologis dalam misi kurban akbar nabi Ibrohim. Antara keterpautan “teks” atau wahyu, yaitu nabi Ibrohim yang menerima perintah. Dan “konteks” yang diobyektivikasikan pada nabi Ismail untuk menyetujui risalah tersebut. Dialog antar keduanya merupakan nilai transendensi arah tujuan kurban.
Dialog antara Allah dengan nabi Ibrohim merupakan indikasi kedekatan makhluk dengan tuhannya. Artinya, arah perjuangan manusia sebagai makhluk adalah menjunjung tinggi nilai ketuhanan itu sendiri, dengan tanpa berpretensi bahwa perintah yang ditetapkan Allah Swt tidak baik adanya bagi manusia. Namun, disadari pula timbal balik kesucian seperti yang dilakukan nabi Ibrohim memiliki keterhubungan dengan makhluk suci yang lain yakni nabi Ismail.
Tasaruf muamalah yang didasari rasa keimanan, antara nabi Ibrahim dan nabi Ismail, membuahkan kepercayaan akan kebenaran tuhan. Maka, buah yang dihasilkan adalah perilaku yang benar, yaitu akhlakul karimah antar keduanya; nabi Ibrahim mengasihi anaknya dengan memberikan pertimbangan atas perintah tersebut, dan Nabi Ismail menghormati orang tuanya, bahwa apa yang diperintahkan pada orang tuanya adalah benar adanya. Titik temu keduanya adalah perilaku yang disandarkan atas rasa keimanan bersama.
Diakhir tulisan ini, hendaklah kita mentelaah peristiwa kurban secara sungguh-sungguh sebagai makna kebesaran tuhan, dari-Nya kita bisa bersyukur atas proses penciptaan yang telah diberikan. Kedua seyogyanya kita juga berterima kasih atas jasa nabi Ibrahim yang telah memberikan tauladan yang baik, bagaimana cara menumbuhkan rasa keimanan. Bukti rasa terima kasih kita pada beliau bisa dilakukan dengan banyak membaca sholawat kepada beliau. Dan dari dua rasa syukur ini, insyaAllah kita tergolong hamba Allah yang bersyukur. Amin.
*) Penulis adalah Alumni pon. Pes. Ihyaul Ulum Dukun Gresik dan Redaktur Buletin Riyaadlotul Muhtaajiin.
Gema takbir, tahmid dan tahlil, tanda kebesaran Hari Raya Idul Adha belum lama berselang. Sayup-sayup masih tersirat di hati seorang muslim, betapa getaran takbir kebesaran tuhan berulangkali disebut; Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar Walillahihamd. Namun, menjadi sebuah tanda tanya, seberapa besarkah kebesaran Hari Raya Idul Adha, sehingga kehadirannya tak lagi memperdulikan status manapun, semua orang muslim baik kaya maupun si miskin, ulama maupun yang culas, priyayi maupun abdi, semua menikmati kebesaran Hari Raya Idul Adha, paling tidak merasakan kebesaran itu dengan seiris daging kurban? Allahu Akbar Walillahihamd.
Hari Raya Kurban adalah ritual tahunan yang dihasilkan dari perjalanan keimanan nabi Ibrohim. Beliau rela mengorbankan anaknya, nabi Ismail, untuk disembelih atas perintah Allah Swt. Satu perintah yang amat berat dijalankan oleh seorang hamba di muka bumi, walau seorang nabi sekalipun. Dengan keridlo’an dan rahmat Allah Swt, akhirnya perintah ini dapat dijalankan nabi Ibrohim.
Berdasar pada perintah di atas, tulisan ini hendak menjelaskan kembali makna kurban yang belakangan ini konteks kurban lebih pada makna materielnya, seiris daging yang diperebutkan beramai-ramai, ditunggu mulai dini hari seperti yang terjadi di Istiqlal, dan beberapa tempat lainnya. Padahal, dasar ibadah kurban berhubungan dengan “nilai pengorbanan diri”, memberikan sesuatu atau merelakan sebagian dari diri manusia untuk dikorbankan demi sebuah tujuan.
Inti tujuan tersebut di atas merupakan penyucian diri atas kehendak nafsu, yang tanpa sadar bergantung selain dari Allah. Hanya tendensi ketauhidan sajalah tujuan dari kurban. Yang pada akhirnya, nilai penghambaan seorang hamba dinilai atas seberapa besar rasa pengorbanannya bagi Allah Swt.
Sandaran Teologis
Tujuan syar’i agama Islam dalam kurban akbar nabi Ibrahim adalah penyadaran diri bahwa bagian dari diri manusia berupa “nafas (hembusan) kehidupan”, tidak satupun menjadi kekuasaan manusia sepenuhnya. Bagi manusia semua adalah terberi, hingga ruh suci yang tersusun oleh hal-hal ajaib dan rahasia diberikan cuma-cuma tanpa meminta-minta. Maka tidak salah jika salah satu tujuan dasar syar’i adalah “hifdzul an-nafs” (menjaga diri), karena kehidupan manusia adalah anugrah terbesar Allah Swt bagi seluruh umat manusia. Tanda terciptanya manusia di dunia sesungguhnya merupakan perwujudan manusia selamanya (Khuliqna lil abad). Oleh karenanya, menjaga diri berarti bersyukur atas ciptaan yang telah diberikan.
Dalam Al-Qur’an dijelaskan barangsiapa membunuh seseorang tanpa ada alasan syar’i, maka pada hakekatnya dia telah membunuh seluruh umat manusia.
“Oleh karena itu, Kami tetapkan bagi Bani Israel bahwa barang siapa membunuh seorang manusia –bukan disebabkan pembunuhan atau membuat kerusakan di muka bumi- maka seakan-akan ia telah membunuh manusia secara keseluruhan. Dan barang siapa memelihara kehidupan seorang manusia, maka seakan-akan ia telah memelihara kehidupan manusia seluruhnya. (Al-Maidah; 32)
Tahapan kedua, proses penjagaan ruh manusia di dunia dibebani pula oleh tanggung jawab “persaksian”, bahwa pernah bersaksi kepada Allah Swt untuk mengakuinya sebagai tuhan satu-satunya. Hal ini menandakan manusia membawa misi suci ”tauhid” atau rasa “keimanan”. Cermin sederhana makna ketauhidan adalah tidak menyamakan atau memperbandingkannya dengan apapun.
Tawaran finalnya adalah, jika ada pengandai-andaian struktur yang berkuasa di luar kemaujudan Allah Swt, entah yang disandarkan pada kekuatan fisik seperti kekuatan otot, kedalam pikiran seperti tingginya pengetahuan, maupun kekuatan harta baik berupa uang maupun anak keturunan. Maka hal itu semua dihukumi kufur. Baik pada tingkat terendah berupa kufur nikmat hingga kufur dzat yaitu syirik yang tak terampuni. Dengan demikian secara eksplisit manusia memiliki dua misi suci, menjaga kesucian dirinya dan kesucian Allah Swt yang mahasuci.
Dari dua tahapan di atas, ada tiga unsur utama yang menjadi simbol kebesaran kurban nabi Ibrahim. Pertama, menjaga titipan suci Allah Swt berupa “ruh” yang di akhirat nanti merupakan bentuk “kejadian” yang dapat berkumpul dan berjumpa dengan-Nya. Kedua, mengimani misi manusia di dunia yaitu menjaga dan menyebarkan amanah suci berupa “ketahuidan” atau “keimanan” pada Allah Swt, yang terimplementasi bahwa hanya Allahlah penentu dan berhak atas segalanya, tak ada persekutuan terkecilpun di dunia ini kecuali hanya mencari ridlonya. Ketiga Allah Swt adalah suci dan tiada kembali kepadanya kecuali dengan kesucian pula.
Terpadunya tiga hakikat dari pemahaman tujuan syar’i ini menunjukkan bahwa, ajaran Islam diturunkan semata-mata menyatukan kesucian tuhan dan kesucian makhluk. Keharmonisan yang tumbuh dari keduanya terwujudkan pada hakikat syukur atas semua yang diciptakan Allah Swt. Hal ini menandakan bahwa keragaman suku, ras, etnik, jenis kelamin, bahkan agama sekalipun, semua itu adalah sunnatullah sebagai penciptaan yang suci. Perbedaan antara yang satu dan yang lainnya, terletak pada pusat di mana manusia berjuang untuk membawanya menuju yang suci, yakni agama Islam.
Ketauladanan Nabi Ibrahim
Lalu bagaimana dengan peristiwa penyembelihan atau kurban yang dilakukan nabi Ibrohim pada nabi Ismail. Tidakkah hal ini menjadi perlawanan dari tujuan syar’i itu sendiri, walupun pada akhirnya ditukar dengan seekor kambing?
Maha Besar Allah Swt, dengan Maha Belas-Kasih dan Sayang-Nya, implementasi kurban nabi Ibrohim diganti dengan binatang yang jauh di bawah derajad penciptaan manusia. Setidaknya ada dua sandaran teologis dalam misi kurban akbar nabi Ibrohim. Antara keterpautan “teks” atau wahyu, yaitu nabi Ibrohim yang menerima perintah. Dan “konteks” yang diobyektivikasikan pada nabi Ismail untuk menyetujui risalah tersebut. Dialog antar keduanya merupakan nilai transendensi arah tujuan kurban.
Dialog antara Allah dengan nabi Ibrohim merupakan indikasi kedekatan makhluk dengan tuhannya. Artinya, arah perjuangan manusia sebagai makhluk adalah menjunjung tinggi nilai ketuhanan itu sendiri, dengan tanpa berpretensi bahwa perintah yang ditetapkan Allah Swt tidak baik adanya bagi manusia. Namun, disadari pula timbal balik kesucian seperti yang dilakukan nabi Ibrohim memiliki keterhubungan dengan makhluk suci yang lain yakni nabi Ismail.
Tasaruf muamalah yang didasari rasa keimanan, antara nabi Ibrahim dan nabi Ismail, membuahkan kepercayaan akan kebenaran tuhan. Maka, buah yang dihasilkan adalah perilaku yang benar, yaitu akhlakul karimah antar keduanya; nabi Ibrahim mengasihi anaknya dengan memberikan pertimbangan atas perintah tersebut, dan Nabi Ismail menghormati orang tuanya, bahwa apa yang diperintahkan pada orang tuanya adalah benar adanya. Titik temu keduanya adalah perilaku yang disandarkan atas rasa keimanan bersama.
Diakhir tulisan ini, hendaklah kita mentelaah peristiwa kurban secara sungguh-sungguh sebagai makna kebesaran tuhan, dari-Nya kita bisa bersyukur atas proses penciptaan yang telah diberikan. Kedua seyogyanya kita juga berterima kasih atas jasa nabi Ibrahim yang telah memberikan tauladan yang baik, bagaimana cara menumbuhkan rasa keimanan. Bukti rasa terima kasih kita pada beliau bisa dilakukan dengan banyak membaca sholawat kepada beliau. Dan dari dua rasa syukur ini, insyaAllah kita tergolong hamba Allah yang bersyukur. Amin.
*) Penulis adalah Alumni pon. Pes. Ihyaul Ulum Dukun Gresik dan Redaktur Buletin Riyaadlotul Muhtaajiin.