11/16/2009

Sebuah Nilai Dalam Kurban Nabi Ibrahim As

M. Ata Syifa’ Nugraha )*

Ibrahim As, istrinya Siti Hajar dan putranya Ismail As adalah tiga profil manusia besar dalam ibadah kurban. Sebuah perintah yang amat berat, dibebankan Allah Swt kepada mereka. Tidak pernah terjadi pada nabi-nabi lainnya. Tidak pernah terjadi pada umat lainnya. Perintah itu adalah menyembelih Ismail As, putranya sendiri, darah dagingnya sendiri.
Ada keraguan di dalam hati Nabi Ibrahim As, benarkah perintah itu? Dan, kebeningan hatinya, kejernihan hatinya, menuntun ia pada pembenaran perintah. Ya, itu adalah perintah Allah Swt.
Dengan kesabaran, dengan ketulusan dan kepasrahan Ibrahim As tunduk dan patuh atas perintah. Ibrahim As tunduk dan patuh pada ujian. Maka disembelihlah darah dagingnya.
Allah Swt mengakui ketaatan Ibrahim As. Allah Swt mengakui kesabaran, ketulusan dan kepasrahan Ibrahim As. Dan Allah Swt mengganti darah daging Ibrahim As dengan domba. Allah Swt mengganti perngurbanan Ibrahim As dengan nikmat-Nya. Dalam Surat At Thalaq Allah berfirman:

“Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah Swt niscaya Allah Swt akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah Swt melaksanakan urusan yang (dikehendaki)Nya. Sesungguhnya Allah Swt telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu”.

Tunduk-patuhnya Ibrahim As bukan perkara yang mudah. Ketaatan Ibrahim As adalah perkara amat berat. Kesabaran, ketulusan dan keparahannya membawa ia untuk dapat menggapainya. Kesabaran Ibrahim As, ketulusan dan kepasrahannya, tidak untuk mudah diraihnya. Kebeningan hatinya dan kejernihan hatinya membimbing keyakinannya dalam melaksanakannya.
Ya, kebeningan hati dan kejernihan batinlah yang mampu menghantarkan manusia dalam kesadaran. Selayaknya kesadaran yang berhasil diraih Ibrahim As. Yakni kesadaran manusia yang hakiki.
Bagaimana meraihnya? Lagi-lagi kita mengalami kesulitan. Perangi hawa-nafsu kita! Karena ia membuat kotor batin kita. Karena ia membutakan mata hati kita. Sembelilah nafsu hewan kita! Dengan begitu, bersihlah batin kita. Dengan begitu, terbukalah mata hati kita. Selayaknya Ibrahim As.
Kita dianjurkan menyembelih hewan. Laksanakan! Kita dianjurkan berkurban. Laksanakan! Itu adalah manifestasi (perwujudan) dari mendekatkan diri kepada Allah Swt. Cukupkah hanya dengan menyembelih hewan … !?. Dalam Surat Al Hajj Allah berfirman:

“Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya”.

Ya, bukan hanya sekadar dengan menyembelih hewan kita bisa dekat dengan Allah Swt dan menggapai keridloan-Nya. Tetapi dengan ketaqwaan. Maka dengarkanlah apa kata Jalaluddin Rumi…
Bertindaklah seperti Ibrahim As, bunuhlah hewan yang menghalang-halangi perjalanan (batin) kita. Penggal kepala mereka sebelum mereka merenggut kesadaran kita.
Hewan pertama yang harus kita sembelih adalah Bebek ___”Bebek Keserakahan” yang tidak pernah puas, tidak pernah berhenti mencari. Di darat maupun di dalam air, dia mencari makanan terus. Kerongkongannya seakan tidak berujung.
Hewan kedua adalah Ayam ___ “Ayam Nafsu Birahi”, nafsu yang bisa menjatuhkan manusia, nafsu yang menjadi sebab kejatuhan Adam As.
Ketiga adalah Merak. Dia senang pamer. Untuk mencari perhatian orang dia akan melakukan apa saja. Dialah “Merak Keangkuhan” yang harus kita sembelih.
Dan yang keempat adalah Gagak ___”Gagak Keinginan”. Keinginan untuk hidup terus, berharap untuk keabadian. Dia tidak perduli hidupnya bermakna atau tidak. Dia tidak sadar bahwa sepanjang hidup yang dimakannya hanyalah kotoran. Dia tidak pernah ber-“keinginan” untuk bebas dari kodratnya sebagai gagak.
Kita semua memiliki sifat-sifat hewan ini. Ada yang sadar. Ada yang tidak sadar. Lalu, di antara mereka yang sadar pun ada yang berupaya untuk melampauinya, ada yang tidak. Dan di antara mereka yang berupaya, ada yang berhasil ada pula yang tidak berhasil.
Kita tidak bisa melampaui sifat-sifat hewani di dalam diri, hanya dengan cara menyembelih hewan. Yang harus disembelih bukan sekedar hewan yang kita beli di pasar. Yang harus disembelih adalah sifat-sifat hewani di dalam diri. Tidak gampang. Cukup sulit. Itu sebabnya kita sering mencari jalan gampang. Beli hewan dan kemudian menyembelihnya. Boleh-boleh saja, karena memang kurban dengan menyembelih hewan adalah anjuran. Tetapi itu bukan cara untuk membebaskan diri dari sifat hewani.
Bukan sekedar hewan, tetapi sifat hewani yang harus disembelih. Karena itu, kita dianjurkan perang suci. Ya, perang suci mengendalikan nafsu. Apabila tidak ada nafsu dalam diri kita, tidak akan ada perintah untuk mengendalikannya.
Allah Swt memberikan perintah “Jauhilah”, karena memang ada keinginan-keinginan yang perlu dijauhi. Ada perintah “Makanlah”. Kemudian ada pula perintah “Jangan berlebihan”. Sepertinya ada hal yang berbeda, padahal tidak demikian. Dua-duanya saling berkaitan. Kenapa kita melihatnya sebagai dua hal yang berbeda? Karena mata kita juling, karena penglihatan kita tidak jernih.
Mungkin ada yang beranggapan bahwa ini hanya sekedar khayalan. Betul, ini adalah khayalan Rumi tentang kesadaran. Sementara banyak di antara kita yang hidup dalam khayalan.
Coba kita dengar sebuah cerita indah dari Rumi berikut ini. Semoga mampu membangunkan kita dari tidur panjang. Sebuah teguran kepada Merak yang angkuh.
Bulumu yang indah, itu saja yang engkau pikirkan. Bagaimana dengan kakimu yang kurus dan jelak? Pernahkah engkau melihat ke bawah?
Karena sifat hewani yang satu ini, kesadaran seorang wali pun bisa merosot. Terbiasa disanjung, dihormati, dia pun bisa angkuh.
Ada juga seekor Merak yang sadar. “Bulu ini sering merampas kebebasanku. Karena bulu ini, aku terus diburu. Setiap orang ingin menangkapku. Biarlah aku tampak jelak, tanpa bulu. Demikian, aku tidak akan dikejar-kejar lagi”. Kata Merak.
Keberhasilan dan kecerdasan bagaikan bulu Merak. Bisa menjadi perangkap, sehingga kesadaran manusia merosot lagi.
Merak mencabut sendiri bulunya, dibiarkan rontok. “Karena bulu ini, aku menjadi angkuh. Kalau tidak berbulu, aku tidak akan angkuh lagi.,” pikirnya.
Seorang suci menegur Merak. “apa yang sedang engkau lakukan? Bulumu ini merupakan anugerah tuhan. Dan engkau menyia-nyiakannya? Demikianlah caramu untuk melampaui keangkuhan? Engkau berpikir terlalu banyak, padahal pikiran tidak pernah membantu
Tidak perlu mencabut bulu, tidak perlu menyiksa diri, karena dirimu adalah ciptaan-Nya. Dan engkau tidak akan pernah memahami Sang Pencipta, kecuali lewat ciptaan-Nya. Bebaskan dirimu dari “keterikatan” pada bulu. Dan engkau akan terbebas dari rasa angkuh.
Jangan lupa “keterikatan” itu sendiri masih merupakan sifat hewani. Begitu pula dengan keserakahan, birahi, keangkuhan dan keinginan. Siapkah kita menyembelih sifat-sifat hewan itu? Semoga!!!

*) Alumnus Pon. Pes. Ihyaul Ulum ‘98

0 comments:

Post a Comment

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Powered by Blogger