10/16/2009

HAJI: ANTARA IBADAH DAN TAMASYA

Muji Faqoth*)

Suatu ketika seorang sufi, Ibrahim bin Adham, bermimpi, ada dua malaikat turun ke bumi dan berbincang. ”Tahun ini ada berapa orang jemaah yang hajinya diterima oleh Allah?” tanya salah satu malaikat kepada malaikat yang lain. Malaikat yang lain menjawab, ”Dari sekian ribu orang jemaah, tak satu pun yang diterima kecuali seseorang dari Damaskus bernama Muwaffaq.”

Setelah terbangun, Ibrahim berniat mencari kebenaran mimpinya itu. Ia pun bergegas menuju Damaskus mencari orang yang dimaksud. Setelah bertemu dengan Muwaffaq, Ibrahim menanyakan itu. Muwaffaq menjawab pertanyaan itu, ”Sudah lama aku ingin berhaji, tetapi selalu kesulitan dana. Suatu saat aku mendapat untung besar dan aku pun berencana naik haji. Tetapi, saat hendak berangkat, aku mendapati anak-anak yatim di sekitar rumahku kelaparan hingga harus memakan bangkai keledai selama tiga hari. Akhirnya aku batalkan rencana pergi haji dan kuberikan ongkos hajiku itu untuk menolong mereka.”

Kisah teladan tersebut sangat relevan dengan kondisi umat Islam Indonesia. Bayangkan, ratusan ribu umat Islam Indonesia setiap tahun pergi ke Mekkah untuk berhaji. Ada ratusan bahkan ribuan jemaah yang sudah pernah menunaikan haji. Mereka rela membelanjakan jutaan rupiah untuk menunaikan ibadah haji berkali-kali. Bahkan, anak-anak mereka yang masih muda pun ikut dibawa menunaikan haji. Bahkan, di luar musim haji pun, mereka juga amat antusias menunaikan umrah hingga puluhan kali.

Mereka tak menyadari bahwa di belakang mereka banyak orang tua yang antri untuk memperoleh jatah pergi haji. Mereka juga tak menyadari bahwa di sekitar mereka banyak orang miskin dan anak yatim yang menghadapi persoalan kemiskinan. Mereka pun lalai, jika dikumpulkan dan digunakan untuk membantu orang-orang miskin, dana haji itu akan lebih bermanfaat dan berpengaruh positif.

***

Ibadah haji sejatinya adalah perjalanan napak tilas kehidupan keluarga Nabiullah Ibrahim yang berat dan melelahkan. Dalam bahasa populer, haji ibaratnya sebuah ”pertunjukan akbar”. Di sana ada Allah sebagai ”pengatur laku”. Aktor dan aktrisnya adalah Ibrahim, Ibunda Hajar, dan Ismail kecil. Sedangkan setan, musuh abadi manusia, memainkan peran sebagai penjahatnya. Masjidil Haram, Arafah, Shafa, Marwa adalah tempatnya, dengan kain ihram sebagai kostumnya.

Betapa berat perjuangan Nabi Ibrahim meninggalkan anak isterinya di tengah padang tandus untuk memenuhi perintah Ilahi. Pun betapa berat perjuangan Ibunda Hajar yang diamanahi seorang Ismail kecil di tengah sahara tak bertepi, hanya dengan perbekalan yang tidak seberapa. Bisa dibayangkan betapa berat ketika beliau harus berlari-lari antara Shafa dan Marwah, untuk sekadar mencari seteguk air buat anaknya tercinta, yang kemudian dinapaktilasi dalam sa’i, sebelum akhirnya Allah mengaruniakan mata air zamzam yang tidak pernah lelah mengalir, bahkan hingga kini.

Dalam konteks kekinian, disini, yang bukan di Arab Saudi, seorang haji sesungguhnya diuji kemampuannya untuk membumikan pesan-pesan langit yang dinapaktilasi dari perjalanan keluarga Ibrahim. Ujian bagi kita yang awam barangkali tidak sedahsyat Ibrahim dan keluarganya yang berstatus nabi.

Dalam konteks kekinian, kita tidak lagi seperti Ibrahim yang mencari Tuhan dan menghancurkan berhala untuk mencapai keberagamaaan yang hanif. Berhala-berhala berujud fisik seperti patung, arca, barangkali sekarang memang tak ada lagi. Tetapi berhala-berhala jiwa yang kita pertuhankan kini teramat banyak di sekeliling kita. Kita tak mempertuhankan patung, tapi barangkali mempertuhankan harta, tahta, pangkat, dan ketenaran yang melenakan kita, sehingga melupakan hakikat kita sebagai hamba Allah.

Ibadah haji adalah ibadah yang berat dan besar. Ibadah yang membutuhkan pengorbanan luar biasa, baik dari sisi fisik, mental, maupun material. Bertamu ke belahan bumi lain yang jauhnya ribuan kilometer, dengan cuaca panas menyengat tidak bersahabat, jauh dari kehangatan keluarga, serta membutuhkan biaya puluhan juta rupiah, jelas bukanlah pekerjaan sederhana.

Namun sayangnya, keberangkatan ke tanah suci tak selalu bermotivasikan landasan kehendak yang suci pula. Itulah sebabnya jauh-jauh hari Nabi Muhammad SAW. telah melontarkan satu sinyalemen yang bernada agak getir dan terasa mempedihkan. Kelak umatku, kata Nabi, bakal tertimpa satu zaman yang orang-orang kayanya menyetarakan ibadah haji seperti perjalanan tamasya, rekreasi atau kunjungan wisata. Orang-orang kelas menengahnya, juga memperlakukannya sebagai ajang bisnis perdagangan demi meraup keuntungan semata. Sementara para pejabat dan orang-orang pandainya, justru memperalatnya demi popularitas, pamer diri dan rasa gengsi.

Maka dari itu, jangan pernah menunaikan ibadah haji yang suci tanpa memperoleh gelar sebagai haji mabrur. Cirinya, kenikmatan haji yang telah dijalaninya akan terus membekas dan tertuang dalam perilaku kesehariannya. Bagi orang-orang yang telah diterima hajinya, keberagamaannya akan mengalami peningkatan yang mengagumkan. Perilaku keberagamaan itulah yang akan berimbas mewarnai sistem sosial yang melingkupinya.

Oleh karena itulah, bagi yang telah meyakini bahwa dirinya -insya Allah- termasuk ke dalam golongan haji mabrur, maka hendaknya senantiasa memelihara dan melestarikan kemabrurannya. Caranya dengan gampang bersedekah dan memiliki sikap peduli sosial, suka membantu dan santun kepada orang lain. Di samping itu dirinya juga harus selalu menebarkan kedamaian, menciptakan ketenangan, serta memayungkan keselamatan keluarga dan lingkungan masyarakat sekitarnya. Orang yang demikian inilah, yang telah dijanjikan dan disediakan surga baginya.

Sebagaimana sabda Rasulullah SAW:

الحج المبرور ليس له جزاء الا الجنة و بر الحج اطعام الطعام و إفشاء السلام

Untuk itu, Allah telah menyiapkan balasan yang manis. Tidak ada balasan yang paling pantas untuk haji yang mabrur, melainkan surga. Kata kuncinya adalah haji yang mabrur, bukan haji tamasya, apalagi haji yang mardud.

Yang berhaji mabrur adalah mereka yang ikhlas berhaji, lillahi ta’aala, sebagai wujud penghambaan diri, sempurna syarat dan rukunnya, serta mampu membawa nilai-nilai haji dalam kehidupan di Tanah Air. Haji yang mabrur selalu berangkat dari niat yang ikhlas, memenuhi panggilan dan seruan Allah sebagai hamba yang taat. Untuk melestarikan kemabrurannya, adalah dengan memberi makan kepada orang yang membutuhkan dan menebarkan salam kedamaian.

Mari kita do’akan saudara-saudara kita yang sudah pergi haji, semoga Allah menganugerahkan kemabruran haji, keindahan ibadah, pengalaman spiritual yang unik, pelajaran kehidupan dan keimanan yang mengesankan dari langit tanah suci untuk dikebumikan digersangnya tanah Indonesia yang sedang meradang ini.

Wallahu a’lam bish shawab.

*) Penulis adalah alumni PP. Ihyaul Ulum Dukun Gresik

1 comments:

Unknown said...

Izin share ke Facebook ya gan!

Post a Comment

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Powered by Blogger