10/31/2010

Ibn Ato’illah al-Sakandari - Pengarang kitab al-Hikam


Beliau adalah Tajuddin, Abu al-fadl, ahmad bin Muhammad bin abd al-karim bin ato’ al-sakandary al-judzamy al-maliky al-syadzily. Beliau berasal dari bangsa arab, nenek moyang beliau berasal dari judzam yaitu salah satu qobilah Kahlan yang berujung pada bani ya’rib bin qohton, yaitu bangsa Arab yg terkenal dengan Arab al-Aa’ribah.

Ibnu ato’ dilahirkan di kota Iskandariyyah, yaitu tempat di mana keluarganya tinggal dan kakeknya mengajar. Beliau dilahirkan antara tahun 658 sampai 679 H. Beliau belajar pada ulama’ tingkat tinggi di Iskandariyah seperti al-faqiih Nasiruddin al-Mimbar al-Judzaami. Kota Iskandariyah pada masa Ibnu Ato’ adalah salah satu kota ilmu di semenanjung Mesir, karena Iskandariyyah banyak dihiasi oleh banyak ulama’ dalam bidang fiqih, hadits, usul,dan ilmu-ilmu bahasa arab, tentu saja juga memuat banyak tokoh-tokoh tasawwuf dan para auliya’ Sholihin.

Ayah beliau adalah termasuk semasa dengan Syeh Abu al-Hasan al-Syadili -pendiri toriqoh al-Syadziliyyah-sebagaimana diceritakan Ibnu Ato’ dalam kitabnya Lathoiful Minan : saya diceritai oleh ayahku, suatu ketika aku sowan ke syeh Abu al-Hasan al-Syadzili lalu aku mendengar beliau mengatakan: "Demi Allah… kalian telah menanyai aku tentang suatu masalah yang tidak aku ketahui jawabannya, lalu aku temukan jawabannya tertulis pada pena tikar dan dinding”.

Keluarga Ibnu Ato’ adalah keluarga yang terdidik dalam lingkungan agama, kakek dari jalur nasab ayahnya adalah seorang yang alim fiqih pada masanya, oleh karena itu tidak mengherankan bila Ibnu Ato’illah tumbuh sebagai seorang faqih, sebagaimana harapan dari kakeknya.

Ibnu Ato’ menceritakan dalam kitabnya Lathoiful minan :bahwa kakeknya adalah seorang yang inkar pada tasawwuf, tapi mereka sabar akan serangan dari kakeknya, di sinilah guru ibn ato’ yaitu Abul Abbas al-Mursy mengatakan: "kalau anak dari alim fiqih iskandariyyah (Ibn ato’illah) datang ke sini, tolong beritahu aku", dan ketika aku datang, beliau mengatakan: "malaikat jibril telah datang kepada nabi bersama dengan malaikat penjaga gunung ketika orang quraisy tidak percaya pada nabi, lalu malaikat penjaga gunung menyalami nabi dan mengatakan:" wahai Muhammad.. kalau engkau mau maka aku akan timpakan dua gunung pada mereka". lalu nabi mengatakan :" tidak… aku mengharap akan keluar orang-orang yg bertauhid dan tidak musyrik dari mereka". Begitu juga kita sabar akan sikap kakek alim fiqih ini( kakek Ibn Ato’illah) demi orang yang alim fiqih ini.”.

Buku-buku biografi menyebutkan riwayat hidup Athoillah menjadi tiga masa.:
Yang pertama: yaitu ketika beliau tinggal di Iskandariyyah sebagai pencari ilmu agama seperti tafsir, hadits, fiqih, usul, nahwu dan lain-lain dari para alim ulama di Iskandariyyah. Pada periode itu beliau terpengaruh pemikiran-pemikiran kakeknya yang mengingkari para ahli tasawwuf karena kefanatikannya pada ilmu fiqih, dalam hal ini Ibn Ato’illah bercerita: "Dulu aku adalah termasuk orang yang mengingkari Abu al-Abbas al-Mursi, yaitu sebelum aku menjadi murid beliau" .saya mengatakan : "yang ada itu hanya ulama’ ahli dzohir, tapi mereka ( ahli tasawwuf) mengaku-aku adanya hal-hal yang besar, sementara dzohir syareat menentangnya”.

Masa yang kedua: dimulai semenjak bertemunya dengan gurunya Abu al-Abbas al-Mursi, tahun 674 H ,dan berakhir dengan pindahnya beliau ke Kairo.dalam masa ini hilanglah inkar beliau pada ahli tasawwuf. Ketika bertemu dengan al-Mursi ,beliau sangat kagum dengan gurunya dan akhirnya ia mengambil toriqoh dari gurunya. Sebab musabab perubahan ini adalah karena beliau merasa sangat tertekan jiwanya, beliau takut sikapnya ini (keingkarannya) pada gurunya adalah tidak benar. Dalam hal ini beliau mengatakan:” sebab saya bergaul erat dengan al-Mursi, adalah perenungan saya setelah terjadi perselisihan antara aku dan guruku:" biarlah aku pergi melihatnya, karena orang yang benar itu mempunyai pertanda yang jelas", lalu aku datang ke majlisnya, dan aku mendengar beliau ceramah tentang masalah-masalah yang diperintahkan syara’, maka tahulah aku bahwa guruku ini mengambil ilmunya langsung dari Tuhan, lalu Allah menghilanglah rasa bimbang yang ada dalam hatiku".

Perlu di terangkan di sini, pada mulanya Ibn Athoillah menyangka ia tidak bisa menempuh jalan tasawuf kecuali dengan total, konsentrasi pada ilmu tersebut dan hanya mengabdi pada guru. Dalam hal ini beliau bercerita : "aku menghadap guruku Al-Mursi, dan dalam hatiku ada keinginan meninggalkan ilmu dzohir, lalu beliau mengatakan padahal aku tidak mengutarakan sesuatu:" Di kota qous ada kawanku namanya Ibn Naasyi’, dulu dia adalah pengajar di qous dan sebagai wakil penguasa, dia mengecap sedikit dari toriqoh kita, dan dia mengatakan: "tuanku… apakah sebaiknya aku meninggalkan tugasku sekarang ini dan berkhidmah saja pada tuan?".lalu aku mengatakan padanya: "Tidak demikian tarekat kita, tapi tetaplah pada maqom yang sudah di tentukan Allah padamu, apa yang digariskan padamu dari tangan-tangan kita nanti akan sampai padamu juga".lalu beliau berkata: 'beginilah keadaan orang-orang al-Siddiqiyyin. Mereka sama sekali tidak keluar (dari suatu maqom-pen) sampai Allah sendiri yang mengeluarkan mereka".Maka keluarlah aku dari majlis Al-Mursi, dan Allah telah menghapus unek-unek dalam hatiku, sepertinya aku baru saja melepas pakainku, lalu aku rela dengan maqom yang di tempatkan oleh Allah"

. Masa yang ketiga dimulai semenjak pindahnya beliau dari Iskandariah ke Kairo, masa ini selesai dengan wafatnya beliau tahun 709 H. Masa ini adalah masa kematangan dan kesempurnaan Ibn Ato’illah dalam ilmu fiqih dan ilmu tasawwuf. Pada masa inilah beliau membedakan antara Uzlah dan kholwah. Uzlah menurut beliau adalah pemutusan (hubungan) maknawi bukan haqiqi dari makhluq, yaitu dengan cara si Salik (orang yang uzlah) selalu mengawasi dirinya dan menjaganya dari kesibukan dunia. Dan ketika seorang sufi sudah mantap dengan uzlahnya dan nyaman dengan kesendiriannya ia memasuki tahapan khalwah. Dan khalwah dipahami dengan suatu cara menuju rahasia Tuhan, kholwah adalah perendahan diri dihadapan Allah dan pemutisan hubungan dengan selain Allah Subhanahu Wata'ala. Menurut Ibn Ato’illah rumah yang bagus untuk berkholwah adalah yang tingginya sekadar tingginya manusia, panjangnya sekadar panjang sujudnya, lebarnya sekedar lebar duduknya, kamar itu tidak ada lubang untuk masuknya cahaya matahari ,jauh dari keramaian, pintunya rapat, dan ada dalam rumah yang banyak penghuninya..

Ibnu Ato’illah sepeninggal gurunya Abu al-Abbas al-Mursi tahum 686 H,menjadi penggantinya dalam mengembangkan toriqoh Syadziliyyah, tugas ini di samping tugas mengajar di kota Iskandariah.maka ketika pindah ke Kairo, beliau bertugas mengajar dan ceramah (mauidzoh) di jami’ al-Azhar. Ibnu Hajar berkata: “
"Ibnu Ato’illah berceramah di Azhar dengan tema yang menenangkan hati dan memadukan perkatan-perkatan orang kebanyakan dengan riwayat-riwayat dari salaf soleh, juga berbagai macan ilmu, maka banyaklah pengikutnya dan menjadi simbol kebaikan". Ibnu Tagri Baradi mengatakan: "Ibn Ato’illah adalah orang yang sholeh, berbicara d iatas kursi Azhar, dan dihadiri oleh hadirin yang banyak sekali ,ceramahnya sangat mengena dalam hati, dia mempunya pengetahuan yang dalam akan perkataan ahli hakekat dan orang orang ahli toriqoh". . Termasuk tempat mengajar beliau adalah madrasah al-Mansuriah di hay al-Shoghoh..beliau mempunyai banyak anak didik yang menjadi seorang ahli fiqih dan tasawwuf, seperti Imam Taqiyyuddin al-Subki, ayah Tajuddin al-Subki, pengarang kitab Tobaqoh al-syafi’iyyah al-Kubro.

Adapun tentang karomah beliau, al-Munawi dalam kitabnya Al-Kawakib al-durriyyah mengatakan: Syeh Kamal ibn Humam ketika ziaroh ke maqom beliau, membaca surat Hud sampai pada ayat yang artinya: "diantara mereka ada yang celaka dan bahagia", lalu Ibn Ato’illah dari quburnya menjawab dengan keras : "wahai Kamal… tidak ada diantara kita yang celaka". Oleh karena itu, Ibn Humam berwasiat kalau meninggal supaya dimakamkan dekat dengan Ibn Ato’ilah. Ada kejadian lain ,yaitu: salah satu murid beliau berangkat haji ,lalu dia melihat beliau sedang towaf, juga melihatnya di belakang maqom Ibrahim di Mas’aa dan Arafah, ketika pulang ,dia bertanya tentang Ibn Ato’illah "apakah beliau pergi haji?" Mereka menjawab "tidak".lalu dia sowan ke beliau ,lalu Ibn Ato’ menanyai:" siapa saja yang kamu temui ? "lalu dia jawab: "tuanku… aku di sana meliat tuan!". Lalu beliau tersenyum sambil berkata: "orang yang besar itu memenuhi dunia, kalau saja wali qutub itu di panggil dari liang tanah ,dia pasti menjawabnya.

Adapun karya beliau, beliau meninggalkan banyak karangan yang beraneka ragam, sebanyak lebih dari 22 kitab, ada tentang sastra, tentang tasawwuf yang menjelaskan hal yang paling lembut dari keadaan jiwa manusia ketika suluk, munajat pada Allah Subhanahu Wata'ala, ada yang tentang fiqh, nahwu mantiq dan falsafah, juga tentang berceramah di hadapan manusia(khitobah).
Beliau wafat tahun 709H di madrasah al-Mansuriyyah dimana beliau mengajar, jenazahnya diiring para pelayat dari Kairo dan sekitarnya untuk dimakamkan di pemakaman al-Qorrofah al-Kubro.

Sumber : Ziarah Makam Auliya, Diterbitkan Oleh: Jam’iyah Ahli Thariqat Al Mu'tabarah An Nahdliyyah PCI NU Mesir

0 comments:

Post a Comment

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Powered by Blogger