11/22/2010

Masyarakat Terdidik


Masyarakat terdidik adalah mayarakat yang telah mencapai tingkat kedewasaan, dalam artian dapat menyelesaikan berbagai masalah kehidupan, sehingga mampu memacu perkembangan peradaban. Maka bukan sekedar mengetahui pengetahuan yang sudah ada, akan tetapi juga mampu mengembangkan dan menciptakan pengetahuan baru. Jika kondisi ideal tersebut dapat dicapai maka pendidikan akan bisa mengambil peranan yang cukup besar dalam pembangunan
Paradigma berkaitan dengan peranan pendidikan dalam pembangunan. Pertama, paradigma fungsional; dan kedua paradigma sosialisasi. Paradigma fungsional melihat bahwa keterbelakangan dan kemiskinan lebih disebabkan karena masyarakat tidak cukup memiliki ilmu pengetahuan, kemampuan, dan sikap modern. Sementara paradigma sosialisasi, memandang peranan pendidikan adalah:(1). Mengembangkan kompetensi individu, (2) Meningkatkan produktifvitas, (3) Meningkatkan kemampuan warga masyarakat dalam upaya memajukan kehidupan masyarakatnya secara keseluruhan.
Namun, kedua paradigma tersebut memiliki ekses-ekses negatif dalam praktek pendidikan di Indonesia. Dalam beberapa penelitian kedua paradigma tersebut telah melahirkan paradigma pendidikan yang bersifat analitis-mekanistis dengan mendasarkan pada doktrin reduksionisme dan mekanistik. Reduksionisme pendidikan melihat anak didik secara tidak utuh dan terpecah-belah. Akibat dari penglihatan ini, maka sistem pendidikan lebih mementingkan formalisasi dari pada substansinya. Nilai, rangking, indeks prestasi, NEM, dan ijazah, menjadi lebih penting daripada pembentukan kepribadian siswa secara utuh.
Sementara paradigma mekanistik, pendidikan dipandang sebagai input-proses-output, yang menjadikan sekolah sebagai proses produksi. Anak didik dipandang sebagai raw-input, sementara guru, kurikulum, dan fasilitas diperlakukan sebagai instrumental input. Jika raw-input dan instrumental input baik, maka akan menghasilkan proses yang baik dan akhirnya baik pula produk yang dihasilkan. Paradigma jenis ini jelas memiliki banyak kelemahan, diantaranya sistem yang bersifat mekanistik dan anak didik diperlakukan bagai barang produksi.
Formalisasi yang tadinya dijadikan solusi untuk mengukur tingkat pendidikan, justru menjadi sebuah belenggu dan mereduksi substansi pendidikan itu sendiri. Pendidik lebih memilih semua siswa bisa lulus dalam ujian akhir meskipun dengan memberikan contekan kepada anak didiknya, sebagaimana banyak kasus yang terjadi akhir-akhir ini, ketimbang menekankan nilai-nilai kejujuran dan percaya pada diri sendiri kepada para siswanya. Keuntungan jangka pendek lebih dipilih daripada manfaat jangka panjang dan justru pendidiklah yang telah menghancurkan masa depan dan kehidupan anak didiknya.
Selain itu, pada pengambil kebijakan yakni pemerintah, menjadikan pendidikan sebagai engine of growth, penggerak dan lokomotif pembangunan. Sebagai penggerak pembangunan maka pendidikan harus mampu menghasilkan invention dan innovation, yang merupakan inti kekuatan pembangunan. Dalam prakteknya, agar pendidikan efisien dan efektif, pendidikan harus diorganisir dalam suatu struktur manajemen yang sentralistik agar mudah dikontrol, kurikulum ditentukan dari pusat, dan evaluasi akhir untuk mengukur capaian yang sudah diperoleh bersifat tunggal. Akibatnya pendidikan menjadi kehilangan kreatifitas dan keberagaman menjadi mati dalam praktek pendidikan.
Oleh sebab itu, pendidikan sebagai proses pembudayaan harus lebih universal, bukan sekedar transfer ilmu pengetahuan dan teknologi, melainkan lebih pada menanamkan dan membangun kebudayaan hingga akan terbangun masyarakat terdidik, masyarakat yang cerdas dan berbudaya. Maka dalam tulisan ini akan mengetengahkan lima paradigma baru pendidikan sebagai alternatif pengembangan pendidikan pada masa depan;
1. Paradigma Sistemik-Organik
Paradigma ini dibangun dari teori ekspansionisme dan teleologis. Ekspansionisme merupakan teori yang menekankan bahwa segala obyek, peristiwa, dan pengalaman merupakan bagian-bagian yang tidak terpisahkan dari suatu keseluruhan yang utuh. Suatu bagian hanya akan memiliki makna kalau dilihat dan dikaitkan dengan totalitas, sebab keutuhan bukan sekedar kumpulan dari bagian-bagian.
Sementara teori teleologis, pendidikan harus menghasilkan manfaat bagi perkembangan dan dinamika masyarakatnya. Keterkaitan ini memiliki arti bahwa prestasi peserta tidak hanya ditentukan oleh apa yang mereka lakukan di lingkungan sekolah, melainkan juga ditentukan oleh apa yang mereka lakukan di dunia kerja dan di masyarakat pada umumnya.
Paradigma sistemik-organik menuntut pendidikan berrsifat fleksibel-adaptif dan kreatif-demokratis. Fleksibel-adaptif, berarti pendidikan lebih ditekankan sebagai suatu proses learning daripada teaching. Peserta didik dirangsang memiliki motivasi untuk mempelajari sesuatu yang harus dipelajari dan continues learning. Tetapi peserta didik tidak akan dipaksa untuk mempelajari sesuatu yang tidak ingin dipelajari. Kreatif-demokratis, berarti pendidikan senantiasa menekankan pada suatu sikap untuk senantiasa menghadirkan sesuatu yang baru dan orisinil.
2. Paradigma Holistik-Integralistik
Paradigma pendidikan holistik-integralistik memandang pendidikan sebagai sarana untuk mengembangkan potensi manusia secara utuh. Manusia dipandang sebagai kesatuan yang bulat, yakni kesatuan jasmani-ruhani, kesatuan makhluk pribadi-makhluk sosial-makhluk Tuhan, kesatuan melangsungkan, mempertahankan, dan mengembangkan hidupnya.
3. Paradigma Humanistik
Paradigma pendidikan humanistik memandang manusia sebagai ”manusia”, yakni makhluk ciptaan Tuhan dengan fitrah-fitrah tertentu. Sebagai makhluk hidup ia harus melangsungkan, mempertahankan, dan mengembangkan hidup. Sebagai makhluk batas (antara hewan dan malaikat), ia memiliki sifat-sifat kehewanan (nafsu-nafsu rendah) dan sifat-sifat kemalaikatan (budi luhur), sebagai makhluk dilematik ia selalu dihadapkan pada pilihan-pilihan dalam hidupnya; sebagai makhluk moral, ia bergulat dengan nilai-nilai; sebagai makhluk pribadi, ia memiliki kekuatan konstruktif dan destruktif; sebagai makhluk sosial, ia memiliki hak-hak sosial; sebagai hamba tuhan, ia harus menunaikan kewajiban-kewajiban keagamaannya.
4. Paradigma Idealistik-Transformatif
Pendidikan idealistik memandang manusia sebagai ”makhluk semulia-mulia makhluk”. yakni makhluk ciptaan Tuhan yang mempunyai misi suci sebagai ”wakil Tuhan di atas bumi”, dengan tugas menata seluruh kehidupan di alam semesta ini. Sebagai ”wakil Tuhan”, manusia secara vertikal berkedudukan sebagai ”hamba” (’Abd) yang harus beribadah dan mengabdi kepada Tuhan, sedangkan secara horisontal manusia sebagai pemimpin (khalifah) yang harus menjadi teladan bagi sesama dan sebagai pengatur dan pellindung atas alam dan kehidupan sekelilingnya.
Kemudian diharapkan dapat ditransformasikan dalam bentuk perilaku aktual anak didik dan setiap warga negara. Sehingga ilmu, teori, moral, dan nilai-nilai dalam pendidikan tidak hanya berhenti pada pikiran dan wacana, tetapi dapat hadir dalam tindakan nyata keseharian anak didik dan setiap warga bangsa.
5. Paradigma Multikulturalisme
Pendidikan berparadigma multikulturalisme mengarahkan anak didik untuk bersikap dan berpandangan toleran dan inklusif. Kita harus apresiatif terhadap budaya orang lain, perbedaan dan keberagaman merupakan kekayaan dan khazanah bangsa kita. Dengan pandangan ini, diharapkan sikap eksklusif dan sikap membenarkan pandangan sendiri (truth claim) dengan menyalahkan pandangan dan pilihan orang lain dapat dihilangkan.

0 comments:

Post a Comment

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Powered by Blogger