Ukhuwah (ukhuwwah) biasa diartikan sebagai "persaudaraan", terambil dari akar kata yang pada mulanya berarti “memperhatikan". Makna asal ini memberi kesan bahwa persaudaraan mengharuskan adanya perhatian semua pihak yang merasa bersaudara. Boleh jadi perhatian itu pada mulanya lahir karena adanya persamaan di antara pihak-pihak yang bersaudara, sehingga makna tersebut kemudian berkembang dan pada akhimya ukhuwah diartikan sebagai "setiap persamaan dan keserasian dengan pihak lain, baik persamaan keturunan, dari segi ibu, bapak atau keduanya, maupun dari segi persusuan".
Secara majazi kata ukhuwah (persaudaraan) mencakup persamaan salah satu unsur seperti suku, agama, profesi, dan perasaan. Dalam kamus-kamus bahasa Arab ditemukan bahwa kata akh yang membentuk kata ukhuwah digunakan juga dengan arti teman akrab atau sahabat.
Masyarakat Muslim mengenal istilah ukhuwwah Islamiyyah. Terhadap istilah ini perlu didudukkan maknanya, agar bahasan kita tentang ukhuwah tidak mengalami kerancuan. Untuk itu terebih dahulu perlu dilakukan tinjauan kebahasaan untuk menetapkan kedudukan kata Islamiah dalam istilah di atas.
Selama ini ada kesan bahwa istilah tersebut bermakna "persaudaraan yang dijalin oleh sesama Muslim", atau dengan kata lain, "persaudaraan antarsesama Muslim", sehingga dengan demikian, kata "Islamiah" dijadikan pelaku ukhuwah itu.
Pemahaman di atas kurang tepat. Kata Islamiah yang dirangkaikan dengan kata ukhuwah lebih tepat dipahami sebagai adjektifa (kata sifat). Sehingga ukhuwah Islamiah berarti "persaudaraan yang bersifat Islami atau yang diajarkan oleh Islam." Paling tidak ada dua alasan untuk mendukung pendapat ini.
Pertama, Al-Quran dan hadist memperkenalkan bermacam-macam persaudaraan. Seperti yang akan diuraikan selanjutnya.
Kedua, karena alasan kebahasaan. Di dalam bahasa Arab kata sifat selalu harus disesuaikan dengan yang disifatinya. Jika yang disifati berbentuk indefinitif maupun feminin, kata sifatnya pun harus demikian. Ini terlihat secara jelas pada saat kita berkata ukhuwwah Islamiyyah dan Al-Ukhuwwah Al-Islamiyyah.
Dalam Al-Quran kata akh (saudara) dalam bentuk tunggal ditemukan sebanyak 52 kali. Kata ini dapat berarti bermacam-macam di antara sebagaimana berikut;
1. Saudara kandung atau saudara seketurunan. Seperti pada ayat yang berbicara tentang kewarisan, atau keharaman mengawini orang-orang tertentu. Misalnya;
Firman Allah s.w.t. yang bermaksud: "Diharamkan kepada kamu (mengawini) ibu-ibumu, anak- anak perempuanmu, saudara-saudara perempuanmu, saudara-saudara perempuan bapakmu, saudara-saudara perempuan ibumu, (dan) anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki (QS Al-Nisa' [4]: 23).
2. Saudara yang dijalin oleh ikatan keluarga, seperti bunyi doa Nabi Musa a.s. yang diabadikan Al-Quran, "Dan jadikanlah untukku seorang pembantu dari keluargaku, (yaitu) Harun, saudaraku (QS Thaha [20]: 29-30 ).
3. Saudara dalam arti sebangsa, walaupun tidak seagama. Seperti dalam firman-Nya,"Dan kepada suku 'Ad, (kami utus) saudara mereka Hud (QS Al-A'raf [7]: 65). Seperti telah diketahui, kaum 'Ad membangkang terhadap ajaran yang dibawa oleh Nabi Hud, sehingga Allah memusnahkan mereka (baca antara lain QS Al-Haqqah [69]: 6-7).
4. Saudara semasyarakat walaupun berselisih paham, "Sesungguhnya saudaraku ini mempunyai 99 ekor kambing betina, dan aku mempunyai seekor saja, maka dia berkata kepadaku, "Serahkan kambingmu itu kepadaku"; dan dia mengalahkan aku di dalam perdebatan. (QS Shad [38]: 23).
Dalam sebuah hadits, Nabi Saw. Bersabda : Belalah saudaramu, baik ia berlaku aniaya, maupun teraniaya. Ketika beliau ditanya seseorang, bagaimana cara membantu orang yang menganiaya, beliau menjawab, "Engkau halangi dia agar tidak berbuat aniaya. Yang demikian itulah pembelaan baginya." (HR Bukhari melalui Anas bin Malik)
5. Persaudaraan seagama. Ini ditunjukkan oleh firman Allah dalam surat Al-Hujurat ayat 10; "Sesungguhnya oranq-orang Mukmin itu bersaudara."
Di atas telah dikemukakan bahwa dari segi bahasa, kata ukhuwah dapat mencakup berbagai persamaan. Dari sini lahir lagi dua macam persaudaraan, yang walaupun secara tegas tidak disebut oleh Al-Quran sebagai "persaudaraan", namun substansinya adalah persaudaraan. Kedua hal tersebut adalah;
1. Saudara sekemanusiaan (ukhuwah insaniah). Al-Quran menyatakan bahwa semua manusia diciptakan oleh Allah dari seorang lelaki dan seorang perempuan (Adam dan Hawa) (QS Al-Hujurat [49]: 13). Ini berarti bahwa semua manusia adalah seketurunan dan dengan demikian bersaudara.
2. Saudara semakhluk dan seketundukan kepada Allah. Di atas telah dijelaskan bahwa dari segi bahasa kata akh (saudara) digunakan pada berbagai bentuk persamaan. Dari sini lahir persaudaraan kesemakhlukan. Al-Quran secara tegas menyatakan bahwa: "Dan tidaklah (jenis binatang yang ada di bumi dan burung- burung yang terbang dengan kedua sayapnya) kecuali umat- umat juga seperti kamu (QS Al-An'am [6]: 38).
Faktor Penunjang Persaudaraan (Ukhuwah)
Faktor penunjang lahimya persaudaraan dalam arti luas ataupun sempit adalah persamaan. Semakin banyak persamaan akan semakin kokoh pula persaudaraan. Persamaan rasa dan cita merupakan faktor dominan yang mendahului lahimya persaudaraan hakiki. Dan pada akhimya menjadikan seseorang merasakan derita saudaranya. Mengulurkan tangan sebelum diminta. Serta memperlakukan saudaranya bukan atas dasar "take and give", tetapi justru, mengutamakan orang lain atas diri mereka, walau diri mereka sendiri kekurangan (QS Al-Hasyr [59]: 9).
Keberadaan manusia sebagai makhluk sosial, perasaan tenang dan nyaman pada saat berada di antara sesamanya, dan dorongan kebutuhan ekonomi merupakan faktor-faktor penunjang yang akan melahirkan rasa persaudaraan.
Islam datang menekankan hal-hal tersebut. Dan menganjurkan mencari titik singgung dan titik temu persaudaraan. Jangankan terhadap sesama Muslim, terhadap non-Muslim pun demikian (QS Ali .Imran [3]: 64) dan Saba [34]: 24-25).
(bersambung pada edisi selanjutnya; Petunjuk Al-Quran untuk Memantapkan Ukhuwah).
Petunjuk Al-Quran untuk Memantapkan Ukhuwah
Guna memantapkan ukhuwah tersebut, pertama kali Al-Quran menggarisbawahi bahwa perbedaan adalah hukum yang berlaku dalam kehidupan ini. Selain perbedaan tersebut merupakan kehendak Ilahi, juga demi kelestarian hidup, sekaligus demi mencapai tujuan kehidupan makhluk di pentas bumi.
"Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan. Seandainya Allah menghendaki, niscaya Dia menjadikan kamu satu umat, tetapi Allah hendak menguji kamu mengenai pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebaikan”.(QS A1-Ma-idah [5]: 48).
Seandainya Tuhan menghendaki kesatuan pendapat. niscaya diciptakan-Nya manusia tanpa akal budi seperti binatang. atau benda-benda tak bernyawa yang tidak memiliki kemampuan memilah dan memilih, karena hanya dengan demikian seluruhnya akan menjadi satu pendapat.
Dari sini, seorang Muslim dapat memahami adanya pandangan atau bahkan pendapat yang berbeda dengan pandangan agamanya, karena semua itu tidak mungkin berada di luar kehendak Ilahi. Kalaupun nalarnya tidak dapat memahami kenapa Tuhan berbuat demikian, kenyataan yang diakui Tuhan itu tidak akan menggelisahkan atau mengantarkannya "mati". Atau memaksa orang lain secara halus maupun kasar agar menganut pandangan agamanya,
"Sungguh kasihan jika kamu akan membunuh dirimu karena sedih akibat mereka tidak beriman kepada keterangan ini (Islam) (QS A1- Kahf [18]: 6).
"Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang ada di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu akan memaksa semua manusia agar menjadi orang-orang yang beriman? (QS Yunus [10]: 99).
Untuk menjamin terciptanya persaudaraan dimaksud Allah Swt. memberikan beberapa petunjuk sesuai dengan jenis persaudaraan yang diperintahkan. Pada kesempatan ini. akan dikemukakan petunjuk-petunjuk yang berkaitan dengan persaudaraan secara umum dan persaudaraan seagama Islam.
Pertama, untuk memantapkan persaudaraan pada arti yang umum, Islam memperkenalkan konsep khalifah. Manusia diangkat oleh Allah sebagai khalifah. Kekhalifahan menuntut manusia untuk memelihara, membimbing, dan mengarahkan segala sesuatu agar mencapai maksud dan tujuan penciptaannya. Karena itu, Nabi Muhammad Saw. Melarang memetik buah sebelum siap untuk dimanfaatkan, memetik kembang sebelum mekar , atau menyembelih binatang yang terlalu kecil. Nabi Muhammad Saw. juga mengajarkan agar sela1u bersikap bersahabat dengan segala sesuatu sekalipun terhadap benda tak bemyawa. Al-Quran tidak mengenal istilah "penaklukan alam", karena secara tegas Al-Quran menyatakan bahwa yang menaklukkan alam untuk manusia adalahh Allah (QS 45:13).
Secara tegas pula seorang Muslim diajarkan untuk mengakui bahwa ia tidak mempunyai kekuasaan untuk menundukkan sesuatu kecuali atas penundukan Ilahi. Pada saat berkendaraan seorang Muslim dianjurkan membaca,
"Mahasuci Allah yang menundukkan ini buat kami, sedang kami sendiri tidak mempunyai kesanggupan menundukkannya [QS Al- Zukhruf [43]: 13).
Kedua, untuk mewujudkan persaudaraan antar pemeluk agama, Islam memperkenalkan ajaran. "Bagimu agamamu dan bagiku agamaku (QS 109: 6), dan Bagi kami amal-amal kami dan bagi kamu amal-amal kamu. Tidak (perlu ada) pertengkaran di antara kami dan kamu. Allah mengumpulkan kita dan kepada-Nya-lah kembali (putusan segala sesuatu).(QS Al-Syura [42]: 15).
Al-Quran juga menganjurkan agar mencari titik singgung dan titik temu antar pemeluk agama. Al-Quran menganjurkan agar dalam interaksi sosial bila tidak ditemukan persamaan hendaknya masing-masing mengakui keberadaan pihak lain dan tidak perlu saling menyalahkan. Seperti penjelasan yang dijelaskan dalam Al-Qur’an; Katakanlah "wahai Ahl Al-Kitab marilah kepada satu kalimat kesepakatan yang tidak ada perselisihan diantara kami dan kamu bahwa tidak ada kita sembah kecuali Allah, dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatu apapun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai Tuhan selain Allah". Jika mereka berpaling (tidak setuju), katakanlah kepada mereka. Saksikanlah (akuilah ekstensi kami) bahwa kami adalah orang-orang muslim" ( QS Ali Imran [3] : 64)
Bahkan Al-Quran mengajarkan kepada Nabi Muhammad Saw. dan umatnya untuk menyampaikan kepada penganut agama lain. Setelah kalimat sawa' (titik temu) tidak dicapai:
"Kami atau kamu pasti berada dalam kebenaran atau kesesatan yang nyata. Katakanlah, "Kamu tidak akan ditanyai (bertanggung-jawab) tentang dosa yang kami perbuat, dan kami tidak akan ditanyai (pula) tentang hal yang kamu perbuat. "Katakanlah, Tuhan kita akan menghimpun kita semua, kemudian menetapkan dengan benar (siapa yang benar dan salah) dan Dialah Maha Pemberi Keputusaan lagi Maha Mengetahui. (QS 34: 24-26).
Jalinan persaudaraan antara seorang Muslim dan non-Muslim sama sekali tidak dilarang oleh Islam, selama pihak lain menghormati hak-hak kaum Muslim, "Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berbuat adil (memberikan sebagian hartamu) kepada orang-orang yang tidak memerangi kamu karena agama, dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil (QS Al-Mumtahanah [60]: 8).
Ketika sebagian sahabat Nabi memutuskan bantuan keuangan/material kepada sebagian penganut agama lain dengan alasan bahwa mereka bukan Muslim. Al-Quran menegur mereka dengan firman-Nya: "Bukan kewajibanmu menjadikan mereka memperoleh hidayah (memeluk Islam), akan tetapi Allah yang memberi petunjuk orang yang dikehendaki-Nya. Apa pun harta yang baik yang kamu nafkahkan (walaupun kepada non-Muslim), maka pahalanya itu untuk kamu sendiri (QS Al-Baqarah [2]: 272).
Ketiga, untuk memantapkan persaudaraan antar sesama Muslim, Al-Quran pertama kali menggarisbawahi perlunya menghindari segala macam sikap lahir dan batin yang dapat mengeruhkan hubungan di antara mereka. Setelah menyatakan bahwa orang-orang Mukmin bersaudara dan memerintahkan untuk melakukan ishlah (perbaikan hubungan) jika seandainya terjadi kesalahpahaman di antara dua orang (kelompok) kaum Muslim.
Al-Quran memberikan contoh-contoh penyebab keretakan hubungan sekaligus melarang setiap Muslim melakukannya: "Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kaum (pria) mengolok-olokkan kaum yang lain, karena boleh jadi mereka (yang diolok-olokkan) itu lebih baik daripada mereka (yang mengolok-olokkan); dan jangan pula wanita-wanita (mengolok-olokkan) wanita-wanita yang lain, karena boleh jadi wanita-wanita yang diperolok-olokkan lebih baik dari mereka (yang memperolok-olokkan), dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri, dan janganlan kamu panggil-memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Sejelek-jeleknya panggilan adalah sebutan yang buruk sesudah iman. Barangsiapa tidak bertobat, maka mereka itulah orang- orang yang zalim (QS Al-Hujurat [49]: 11).
Selanjutnya ayat di atas memerintahkan orang Mukmin untuk menghindari prasangka buruk, tidak mencari-cari kesalahan orang lain, serta menggunjing, yang diibaratkan oleh Al-Quran seperti memakan daging-saudara sendiri yang telah meninggal dunia (QS Al-Hujurat [49]: 12).
Menarik untuk diketengahkan, bahwa Al-Quran dan hadits-hadits Nabi Saw. tidak merumuskan definisi persaudaraan (ukhuwwah), tetapi yang ditempuhnya adalah memberikan contoh-contoh praktis. Pada umumnya contoh-contoh tersebut berkaitan dengan sikap kejiwaan (seperti terbaca di dalam surat Al-Hujurat ayat 11-12 di atas), atau tecermin misalnya dalam hadits Nabi Saw. antara lain; "Hindarilah prasangka buruk, karena itu adalah sebohong-bohongnya ucapan. Jangan pula saling mencari-cari kesalahan. Janqan saling iri, jangan saling membenci, dan jangan saling membelakangi (Diriwayatkan oleh keenam ulama hadits, kecuali An-Nasa.i, melalui Abu Hurairah).
Semua itu wajar, karena sikap batiniahlah yang melahirkan sikap lahiriah. Demikian pula, bahwa sebagian dari redaksi ayat dan hadits yang berbicara tentang hal ini dikemukakan dengan bentuk larangan, lni pun dimengerti bukan saja karena at-takhliyah (menyingkirkan yang jelek) harus didahulukan daripada at-tahliyah (menghiasi diri dengan kebaikan), melainkan juga karena "melarang sesuatu mengandung arti memerintahkan lawannya, demikian pula sebaliknya."
Semua petunjuk Al-Quran dan hadits Nabi Saw. Yang berbicara tentang interaksi antarmanusia pada akhimya bertujuan untuk memantapkan ukhuwah. Perhatikan misalnya larangan melakukan transaksi yang bersifat batil (QS 2: 188), larangan riba (QS 1: 278), anjuran menulis utang-piutang (QS 2: 275), larangan mengurangi atau melebihkan timbangan (QS 83: 1-3), dan lain-lain.
0 comments:
Post a Comment